Ayah tertidur di sofa masih dengan pakaian kerjanya ketika aku pulang dari rumah Damita setelah belajar untuk ulangan harian Akuntansi besok. Televisi menyala di depan sofa tempat Ayah terlelap, menayangkan berita malam. Piring beling bening sisa makan malamnya tergeletak di atas meja makan yang terbuka tanpa tudung saji. Aku meletakkan piring kotor itu di atas wastafel, sementara jam dinding di atas kulkas menunjukkan pukul delapan malam. Belum terlalu malam, tapi Ayah tampaknya memiliki hari yang melelahkan. Aku mengambil nasi dari pemasak nasi, mengambil sepotong bagian bebek goreng dari kardus kotak makanan yang pasti Ayah beli dari salah satu restoran dekat kantornya, dan makan sendirian. Setelahnya, aku mencuci semua piring kotor dan meletakkannya kembali ke rak peralatan makan.
Di tengah mencuci, aku teringat percakapanku dengan Damita tempo hari. Mengenai jurusan kuliah yang akan kami tuju dan jadi target kami, hingga rencana dan cita-cita masa depan. Banyak murid di sekolahku yang sudah mendaftar les untuk persiapan masuk kuliah, mengerjakan tugas-tugas latihan soal tes SBMPTN, berbicara tentang sulitnya soal-soal try out. Salah satunya Damita. Kadang, aku meminta soal padanya untuk kukerjakan di rumah, kadang kami membahas bersama. Aku pernah meminta Ayah untuk mendaftar bimbingan belajar masuk kuliah, tapi jawabannya, "Daftar di semester dua saja, ya? Masih bisa, kan?". Aku tahu alasannya karena masalah finansial, jadi aku hanya bisa diam.
Damita bilang dia tidak ingin kuliah di luar kota, dia nyaman tinggal di rumah bersama keluarganya, dan ingin mengambil jurusan Manajemen di universitas negeri kota kami. Menurutnya, jurusan itu sesuai dengan ketertarikannya dan memiliki prospek kerja yang jelas dan cenderung aman. "Lulusannya dicari di mana-mana, Nus," katanya.
Aku memerhatikan Ayah yang terlelap di sofa, tubuhnya turun-naik oleh embusan napas teraturnya. Sebentar lagi dia akan pensiun, mungkin dua tahun lagi. Artinya, Mas Kekar harus cepat-cepat lulus kuliah dan kerja untuk menggantikannya. Begitu juga dengan aku, harus bisa mengambil keputusan yang tepat menyangkut masa depan. Masa depan menyangkut dengan jenjang perkuliahan, setidaknya itu yang mulai kupertimbangkan. Jika aku kuliah di luar kota, gantian Mas Kekar yang akan menemani Ayah di rumah dan entah, mungkin sepuluh tahun atau mungkin lima atau entah kapan—aku dan Mas Kekar akan menjadi sebatang kara. Artinya, kami harus bisa menghidupi diri sendiri, tidak ada lagi yang bisa diandalkan atau saling mngandalkan. Banyak hal yang perlu dipersiapkan. Biaya kesehatan Ayah. Siapa yang akan menanggung dan merawatnya jika bukan kami berdua?
Aku berpikir terlalu jauh, ya? Tapi sungguhan, memikirkan masa depan membuat kepalaku pusing. Kami masih terlalu muda dan ceroboh untuk memutuskan nasib kami lima hingga sepuluh tahun ke depan. Itu terlalu krusial dan aku tidak ingin menyesal di kemudian hari jika pada masa mudaku memilih keputusan yang tidak tepat.
Pertimbangan Damita memilih jurusan Manajemen membuatku berpikir lebih dalam, apakah sebaiknya aku mengorbankan cita-citaku dan mundur menjadi seseorang yang lebih realistis dengan memilih jurusan yang memiliki prospek kerja yang lebih menjamin. Aku bisa saja jadi mahasiswa jurusan Akuntasi atau Administrasi dan mengesampingkan mimpiku menjadi sastrawan. Meskipun, orang-orang bilang pekerjaan bisa saja berbeda dengan jurusan yang diambil saat kuliah. Memang beberapa kali ayahku menanyakan, mengapa aku memilih jurusan Sastra Inggris sementara ada jurusan lainnya yang lebih terjamin prospek kerjanya. Tapi, tidak memilih apa yang menjadi minatku rasanya seperti membohongi diri sendiri dan aku tidak suka perasaan berbohong, terpaksa, dan sakit hati karena telah mengingkari janji pada diri sendiri untuk terus melakukan apa kusuka.
Dulu, aku selalu tahu persis apa yang kumau dan apa yang menjadi tujuanku. Sekarang giliran sudah waktunya untuk mulai menyusun masa depan, untuk alasan-alasan tertentu, aku merasa kehilangan arah.
Dan, usiaku terus bertambah. Dua hari lagi ulang tahunku datang.
Tapi, aku tidak pernah menyukai hari ulang tahun. Hari ulang tahun hampir selalu menjadi musuhku yang tidak kutunggu-tunggu. Ucapan selamat, kue tar dan lilin-lilin yang dipasang berjejer dinyalakan hanya untuk ditiup, orang-orang yang berkumpul, beberapa hadiah, pesta yang ramai. Keluarga kami tidak biasa merayakan ulang tahun seperti itu, jadi rasanya hari ulang tahun tidak ada bedanya dengan hari-hari yang lain. Bagiku, hanya satu hari yang menandakan umur yang bertambah tua dan ungkapan doa dari orang terdekat yang sangat bisa dihitung jari. Apalagi, semenjak Nenek pindah rumah ke surga, tidak ada lagi kue tersaji di atas meja makan dan masakan sederhana buatannya yang biasa kami anggap sebagai ungkapan syukur. Semacam perayaan sederhana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...