Toko Musik

261 25 4
                                    

Mama membiarkan pemutar CD-nya memutarkan musik-musik jazz kesukaannya, yang selalu diputar setiap Minggu pagi. Suaranya terdengar sayup-sayup sampai ke luar kamarnya, ke ruang tamu, ruang tengah, dan dapur. Aku mengetuk pintu kamar Mama dua kali, yang terbuka sedikit dan ketika Mama menyahut, "Yaaa, masuk!"-dia kira aku Bibi Dar. Mama sedang memakai masker wajah berwarna abu-abu muda dan meletakkan krim lulur di bagian-bagian kakinya, dia duduk di lantai, dialasi karpet tipis, rambutnya digulung handuk hijau muda. Melihatku datang, dia mendongak seolah dongakan itu artinya 'Ya, kenapa?'.

"Ma, pernah dengar buku lama judulnya... 'Derai, Surai'?" aku menyeringai, menunggu jawabannya.

Mama melirikku, heran sekaligus sedikit sumringah. "Ayo, kita cari di rak buku habis ini."

Aku sudah tahu apa yang akan Mama katakan selanjutnya, ketika kami mencari buku itu di ruang kerja bersama yang memiliki beberapa rak tinggi berisi buku. Ada buku sains, ilmu sosial, kamus bahasa-bahasa, buku-buku arsitektur Ayah, cara-cara menanam tanaman herbal, kiat-kiat bisnis, self improvement, hingga novel sastra.

Sembari membongkar isi tumpukan buku sastra, Mama berkomentar, "Sudah Mama bilang, rajin baca buku itu bagus. Paling nggak, satu buku satu bulan. Dulu, waktu Mama remaja seumuran kamu, Mama suka baca..." dia berceloteh panjang lebar, diulang-ulang, membuatku tidak tahan.

"Ini untuk tugas Bahasa Indonesia," aku terpaksa cari-cari alasan.

"Tugas Bahasa Indonesia. Setidaknya, kamu jadi mulai membaca. Itu bagus. Dulu Mama juga..." dia memulai lagi celotehannya hingga tumpukan buku sastra sudah hampir habis dan kami tidak menemukan buku itu. Mama meletakkan kedua tangannya di pinggang, bergumam betapa anehnya buku itu mendadak tidak ada padahal dia ingat betul pernah membacanya di ruang ini. "Derai, Surai. Itu buku kumpulan cerpen dikasih sama Mbak Dian."

Sekedar informasi, Mbak Dian adalah kakak pertama Mama. Aku masih mencari di tumpukan buku sastra dan kuperiksa rak buku lainnya, barangkali terselip. Tapi, tidak ada juga. Hingga akhirnya, Mama memanggilku untuk makan siang dan menyuruh untuk mencari buku itu besok lagi. Rendang sudah tersedia di atas meja makan, katanya, selagi masih panas harus cepat disantap. Di saat yang sama, Papa baru pulang dari permainan ping-pongnya di rumah salah satu teman lamanya, suara mobilnya terdengar saat memasuki garasi.

Malamnya, kami tidak jadi makan malam di restoran steak karena Papa harus menyelesaikan tugas dari kliennya. Rancangan gedung lima belas lantai untuk disetor besok sore. Sebagai gantinya, aku mengajak Stefina untuk makan malam di luar. Dia mengiyakan.

Saat itu juga aku langsung bersiap-siap. Kemeja abu-abu yang santai dan celana jeans. Selama di perjalanan menjemput Stefina di rumahnya, sesekali aku memikirkan soal buku Derai, Surai. Penasaran kira-kira ada di mana buku tersebut. Aku mulai membayangkan jika besok buku itu ternyata ada di salah satu rak buku lainnya, terselip di antara buku arsitektur atau bisnis, dan memberikannya pada Venus di kelas, membayangkan ekspresi penuh antusiasnya. Aku hanya ingin melihat ekspresinya setelah mendapatkan buku itu, memecah akhir satu cerita pendek yang untuknya penting, meskipun dia berusaha keras mengelak bahwa itu tidak penting.

Tepat saat aku membayangkan hal tersebut, aku sampai di depan rumah Stefina. Pagar rumahnya yang tinggi perlahan-lahan ditarik dan terbuka, Stefina muncul. Dia memakai sweater berbulu berwarna pink muda dan jeans biru gelap, rambutnya dibiarkan tergerai, bibirnya dipoles lipstick warna pink muda yang cocok dengan warna kulitnya. Aku terkesima, entah dia semakin cantik atau karena sudah hampir dua minggu aku tidak bertemu dengannya, jadi melihatnya setelah sekian membuatnya terlihat berbeda dan lebih baik. Dia membuka pintu dan sambil tersenyum, dia duduk di sebelahku. Aku bertanya apakah orang tuanya sedang di rumah dan dia menjawab, "Nggak, mereka sedang ada urusan di rumah nenekku.". Jadi, aku tidak mampir dan kami langsung saja berangkat ke tujuan kami, Point One Burger and Grill.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang