Keesokan harinya, kami bersiap-siap untuk pulang.
Pada pukul enam tepat, para guru membangunkan kami dengan berseru melalui pengeras suara di halaman yang menjadi perantara gedung kamar laki-laki dan perempuan. Tentu saja semua anak jadi mendengar seruan dan sirene itu, lalu otomatis terbangun dari tidur lelap mereka. Setelahnya, kami diminta segera ke ruang makan untuk sarapan. Wajah-wajah mengantuk tampak di sana, ada yang sibuk mengucek mata, ada juga yang masih menguap. Tentu, semalam banyak anak yang begadang dan ada juga yang baru pulang hampir tengah malam setelah jalan-jalan dari kota.
Di sisi lain, ada pula yang sudah cuci muka dan mandi, tampak segar. Karena semalam aku tidak ke mana-mana dan tidurku cukup meskipun kurang nyenyak, aku sudah bangun pagi-pagi sekali, tidak mengantuk ketika sarapan, sudah cuci muka, bahkan sudah mandi juga. Setelah sarapan, aku merapikan seluruh barangku dan memasukkannya ke dalam tas jinjing. Sementara itu, Damita dan yang lain baru mau mandi, berebutan giliran mandi, dan barang mereka masih bertebaran memenuhi seisi kamar.
Sambil menunggu mereka beres-beres sebelum kami naik ke bus dan pulang, aku berjalan-jalan di sekitar wisma. Kali ini membawa buku kumpulan cerpen sambil mendengarkan musik dari ponsel. Aku duduk di ayunan tidak jauh dari tempat semalam, jadi dari sini bukit kecil tempat aku duduk bersama Atlas itu bisa terlihat jelas. Beberapa langkah dari bukit kecil itu, di bawahnya lagi, terlihat meja dan kursi yang kududuki bersama Gavin sore sebelumnya.
Segera kualihkan pandangan, tidak ingin terlalu lama memandang kedua tempat yang menyisakan ingatan kurang menyenangkan itu. Tapi tetap saja, sekeras apapun aku berusaha untuk tidak mengingatnya, tidak merasakan, mengalihkan perhatianku dengan membaca buku sambil mendengarkan musik sekalipun, dua kejadian tempo hari itu masih saja berdesakkan memenuhi kepalaku. Aku seperti ingin keluar dari kurungan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan, tapi semakin keras berusaha melepas, semakin kuat mereka menggenggam.
Rasanya sangat tidak nyaman. Seharusnya, aku menikmati dua hari ini. Ini dua hari terakhir untuk bisa berkumpul seharian penuh bersama teman-teman SMA sebelum melangkah di jalan kehidupan masing-masing. Tapi, apa yang kurasakan sekarang adalah perasaan campur aduk yang meresahkan. Pikiranku tidak bisa mengikuti alur cerita yang kubaca, semua lagu yang terputar mendadak terdengar begitu datar, dan pandangan mataku terasa kosong ketika memperhatikan sekitar. Bunga-bunga tidak tampak cantik lagi meskipun mereka sedang berkemakaran berwarna-warni, langit biru cerah berawan jadi tampak menyedihkan, dedaunan yang bergoyang ditiup angin mendadak tampak terhuyung-huyung begitu melelahkan, dan orang-orang yang berlalu lalang di koridor gedung dari satu kamar ke kamar lain kelihatan menjemukan.
Semuanya jadi terlihat muram.
Akhirnya, ketika kami duduk di bus dalam perjalanan pulang, aku bercerita pada Damita. Bukan soal Atlas, tapi tentang apa yang dilakukan Gavin tempo hari. Mendengar semua ceritaku, Damita benar-benar terkejut. Anehnya, dia ikut meminta maaf. Meminta maaf karena telah salah menilai selama ini, mendesakku untuk terus mengiyakan ajakan-ajakan Gavin, mengikuti alur pendekatannya. Damita benar-benar mengira diam-diam aku tertarik dengan laki-laki itu, dia pikir selama ini aku hanya tidak mau mengakuinya. Dia juga mengira kalau aku dan Gavin cocok karena kami sama-sama cukup serius dalam urusan pelajaran.
"Itu bukan salah lo, Dam. Lo hanya memberi saran dan gue yang memutuskan sendiri. Iya, kan?" kataku.
"Ya, tapi tetap saja, karena saran gue jadi lo harus melewati semua ini," Damita tetap merasa tidak enak dan aku berkali-kali mengatakan kalau ini semua bukan salahnya. Memang aku yang harus mengalami semua ini, mau bagaimana lagi. Lalu, Damita berkata lagi, "Gue pikir kalian berbagi hal yang sama."
"Maksudnya?"
"Yaa, ada kesamaan di hobi, misalnya? Atau kesukaan film, musik..."
"Nggak juga," aku menggeleng. Nyatanya, aku berbagi hal itu bukan dengan Gavin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Genç KurguUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...