Hari Sabtu pukul tujuh pagi, aku terbangun karena suara pintu rumah yang semula diketuk pelan, lama-lama berubah menjadi gedoran kasar yang diulang-ulang. Kunyalakan lampu kamar dan kusibak tirai jendela, mengintip ke bawah kira-kira siapa manusia yang tidak punya sopan santun—memaksa—dibukakan pintu pagi-pagi tanpa menekan bel yang jelas-jelas diletakkan tepat di samping pintu, pojok kanan.
Ternyata itu loper koran langganan Ayah. Orang itu yang biasa melempar koran yang tergulung rapi setiap pukul enam pagi. Buru-buru aku keluar kamar dan hendak menyemprot karena tindakan menyebalkannya ketika aku membuka pintu untuk melihat wajah sinisnya,
"Ada bel di samping pintu, bisakah lain kali pencet saja benda kecil itu alih-alih membangunkan penghuni rumah pada pukul tujuh pagi?" aku setengah membentak, secara tidak sengaja, dan terkejut sedetik kemudian ketika menyadari mobil Ayah tidak ada di garasi rumah. Aku ingat, Ayah memang ada keperluan atau acara apalah di tempat kerjanya, tapi bahkan aku tidak diberitahu sebelumnya dia berangkat sepagi ini.
Tiba-tiba, dadaku sedikit lebih sesak dan pipiku memerah ketika menyadari kenyataan di hari ulang tahunku yang ke-tujuh belas, aku sendirian di rumah. Sejak bangun tidur.
Emosiku mulai meredam dan tubuhku menjadi lemas ketika loper koran berperawakan tinggi kurus dengan wajah panjang yang dingin itu merogoh saku kemeja putih lusuhnya dan mengeluarkan selembar kertas nota berbentuk persegi. Loper koran itu menyerahkannya padaku sambil berbicara dengan nada yang ditegas-tegaskan, "Tagihan bulan ini dan bulan lalu. Mohon dibayar sekarang. Jangan ditunda-tunda lagi."
Aku menatap total angka yang tertera di kertas tersebut, berpikir sesaat bagaimana mungkin Ayah lupa atau tidak mengabariku soal tagihan koran ini. Dia tidak menitipkan uang apapun, seingatku. Meskipun totalnya tidak seberapa, entah mengapa ini terasa merusak pagi yang seharusnya menjadi pagi terbaikku.
Aku mengangguk pelan dan menjawab dengan suara bergetar, "Tunggu sebentar, saya masuk dan ambil uang."
Di laci meja ruang tengah, aku menemukan segulung uang yang diikat dengan karet. Uang-uang kertas yang digulung itu dilapisi sobekan kertas putih yang ketika kuambil dan kubuka untuk kulihat tulisannya—itu tulisan tangan sambung Ayah yang berbunyi, 'iuran koran'. Tapi, jumlahnya hanya setengah dari total tagihan. Hanya cukup untuk membayar tagihan satu bulan, bukan dua bulan.
Akhirnya, aku pergi ke kamar dan mengambil uang dari dompetku. Kuberikan uang itu ke loper koran dan dia mengucapkan terima kasih, lalu dia pergi dengan sepeda motor model jadulnya.
Aku duduk di sofa depan televisi, ingin tak ingin membuka ponsel. Ulang tahun adalah hari yang tidak pernah kutunggu-tunggu dan ketika hari itu terjadi, aku tidak akan dan tidak mungkin pantas berekspektasi apapun. Tidak akan ada ucapan selamat yang heboh-heboh atau perayaan yang megah-megah.
Singkatnya, aku tidak pernah benar-benar menyukai hari ulang tahun.
Tapi, menjadi tujuh belas tahun rasanya sedikit berbeda. Hari ini, terbersit di pikiranku bahwa aku ingin merasa senang pada hari ulang tahunku, barang sekali saja seumur hidup—walaupun aku tahu itu tidak akan terjadi. Sejak membuka mata pun aku sudah sendirian di rumah, harus membayar tagihan koran, sekarang harus memikirkan menu sarapan apa yang harus kubuat untuk diriku sendiri. Tidak ada yang begitu istimewa. Jadi, buru-buru kutepis pikiran itu.
Kubuka ponsel, menyalakan lagu Good Thing oleh Henry Nowhere dengan volume keras dan membuat suaranya menggema di ruangan dapur, seraya menunggu minyak goreng yang kutuangkan di atas wajan menjadi panas. Notifikasi di layar mengatakan ada tujuh pesan dari Damita yang sampai pukul setengah enam pagi tadi, dilanjutkan dengan pesan suara dari Mas Kekar yang baru sampai lima belas menit yang lalu. Dua orang pertama yang memberikan ucapan selamat yang sederhana. Setidaknya, sesuai dengan prediksiku. Hanya mereka berdua dan akan dilanjutkan Ayah, kalau dia memang ingat.
![](https://img.wattpad.com/cover/91268925-288-k734235.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...