Bukit Bintang

308 28 19
                                    

Sementara pemutar audio di mobil Atlas memasang lagu Mac Demarco yang berjudul Still Beating dari liked songs akun Spotify-ku, kami hampir sampai di tempat yang namanya Bukit Bintang itu setelah menempuh satu jam perjalanan penuh dengan percakapan, kadang juga diisi hening dan kami sama-sama menikmati lagu yang diputar.

Sementara itu juga, pesan ataupun telepon dari Ayah belum juga tiba. Aku tahu, harusnya aku merasa bahagia hari ini – hal yang aneh sekaligus menyenangkan bisa bersama seseorang yang kau sukai diam-diam di hari ulang tahunmu – tapi, aku masih menanti ucapan selamat ulang tahun singkat dari ayahku sendiri. Bukan hal yang salah, kan?

Kami akhirnya sampai di Bukit Bintang.

Bukit Bintang, seperti namanya adalah sebuah perbukitan, tidak jauh dari tempat perumahan rumah-rumah penuh mimpi yang dikunjungi aku, Mas Kekar, dan Ayah waktu itu. Dari perumahan orang-orang kaya itu, Bukit Bintang masih terus naik sedikit. Menurut Atlas, Bukit Bintang adalah salah satu spot terbaik untuk melihat pemandangan lampu-lampu kota yang berkelap-kelip.

"Kapan-kapan kita bisa naik ke tempat yang lebih tinggi lagi, kalau mau lihat bintang lebih jelas," kata Atlas, sementara dia mengunci pintu mobilnya dan kami berjalan masuk ke dalam sebuah kafe kecil yang terbuat dari kaca dan tralis warna hitam. Tulisan di papan kayunya berbunyi, 'Bukit Bintang: Kafe Taman'. "Ini kafe lama. Sebelumnya hanya outdoor saja, tapi sekarang dibuat indoor-nya. Mau outdoor atau indoor?"

Aku menjawab, "Outdoor."

Atlas mengambil salah satu buku menu dari meja kasir, lalu membawanya. "Pilihan yang bagus."

Kafe Taman di Bukit Bintang adalah sebuah kafe dengan bagian indoor yang kecil dan tidak ada yang begitu istimewa—seperti kebanyakan kafe pada umumnya, meja-meja dan kursi warna serasi, meja panjang yang menempel pada jendela dan kursi tinggi bentuk bulat, meja pengunjung yang menempel pada tempat barista, dan pajangan-pajangan dinding berisi kutipan dan artwork-artwork modern. Namun, bagian outdoor-nya membuatku terkesima, sangat luas dan benar-benar menakjubkan. Lampu gantung menyala di atasnya, menyambung dari satu tempat ke tempat lainnya, meja dan kursi yang terbuat dari besi tipis berwarna putih disusun secara beraturan di sisi kiri, sementara di sisi kanan, bean bag berbagai warna disebar secara acak dengan alas kain bermotif kotak-kotak warna merah-putih serta meja pendek terbuat dari kayu. Orang-orang duduk dan bersandar dengan nyaman di sana.

Benar kata Atlas, tempat ini memiliki pemandangan lampu-lampu kota yang sangat baik, jauh lebih cantik dari atas sini dibandingkan dari jendela kamarku. Rasanya seperti aku melihat sesuatu yang semula menyebalkan—sudut-sudut kota yang sebagiannya tidak terurus, bisingnya jalanan, trotoar yang selalu ramai, bunga-bunga di trotoar yang kadang lupa disiram hingga mengering, halte bus yang sesak setiap jam sibuk. Tapi, sekarang semua sudut kota yang semula menyebalkan terlihat begitu kecil dan tidak nyata. Cahaya dari lampu-lampu gedung berkedip-kedip menyala di depan mataku dan aku melihat semuanya dari sudut pandang yang lebih luas, menyeluruh, dan itu tampak cantik.

Kami memilih duduk di bean bag berwarna hijau rumput, lalu Atlas memesan kopi dan jamur goreng tepung, sedangkan aku memesan cokelat panas. Sementara, Di bawah kaki kami, hamparan rumput terbentang dan kilauan lampu-lampu dari gedung-gedung kota memantul, menyala-nyala. Di sisi lain, suhu udara mencapai nyaris 22 derajat celsius.

"Jadi, apa rencananya?" Atlas menoleh ke arahku, sementara rambut gelombangnya yang mulai gondrong hampir menutupi matanya—aku tidak paham juga bagaimana bisa dia lolos dari pemeriksaan para guru setiap sebelum upacara hari Senin—tapi, rambutnya selalu dibiarkan tebal dan jarang dipangkas. Matanya cokelat dan jernih, sementara lampu-lampu gantung kecil berwarna kuning berkedip-kedip di atas kami, ini pertama kalinya kami duduk bersebelahan. Sedekat ini. Aneh sekali rasanya. Semula kami tidak kenal, aku hanya pengagum rahasianya dari jarak jauh, lalu kami dipertemukan di satu kelompok, dan sekarang kami berteman dekat. Bahkan, kuanggap Atlas jadi satu-satunya orang yang merayakan ulang tahun ketujuh belasku dengan mengajakku kemari. Kadang jantungku masih berdebar, meskipun sudah semakin terbiasa mengobrol dengannya.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang