Membayangkan dan Mengingat

2.1K 60 2
                                    

Di kamar, kubuka aplikasi musik di ponselku. Kemudian, kunyalakan salah satu lagu dari playlistku. Savana oleh Senar Senja dan Asteriska. Kuambil satu buku notes kecil berukuran panjang dari dalam meja belajarku. Mulai jemariku bermain bersama pena, menginjak-injak kertas yang semula kosong, mengotorinya dengan berbagai macam kata. Buku itu semacam jurnal, tapi bukan. Aku tidak mengisinya setiap hari, hanya ketika terjadi peristiwa-peristiwa penting atau kesimpulan dari sebuah rangkaian pikiran. Seperti yang terjadi pada malam ini, yang pikiran-pikiran itu datangnya entah dari mana, tiba-tiba menyeruak masuk mengisi ruang kosong otakku.

Aku mulai menulis.

Seperti halnya dasar teori Quantum, aku percaya bahwa semua kemungkinan memiliki probabilitas masing-masingnya untuk terjadi, tak peduli sefantastis atau setidak masuk akal apapun itu.

Begitu juga dengan aku.

Aku percaya bahwa dunia ini terlalu luas sehingga tidak ada yang hal tidak mungkin untuk terjadi. Di samping terlalu banyak memikirkan presentase probabilitas dari suatu kejadian, menerka-nerka dengan menggunakan pertanyaan 'What if?' ― akulah satu orang yang mati jiwanya diikat sistem pendidikkan yang selama ini kuselami, akulah satu orang yang mati jiwanya karena pendidikkan yang kuselami selalu mengedepankan teori dan tak punya hati. Aku heran bagaimana semua orang seolah terlihat hanya pandai berpikir secara logis. Seolah hanya itu yang menjadi tolak ukur seseorang dipanggil cerdas, intelektual, calon pemimpin besar di masa yang akan datang. Kemudian, orang-orang itu berkompetisi penuh ambisi demi mewujudkan hasil terbaik, nilai terbaik, peringkat terbaik. Hasil menjadi tolak ukur mereka untuk bermimpi. Kemudian, sekarang, akulah satu-satunya pemimpi yang kebanyakan orang sebut tidak realistis. Mereka manusia-manusia realistis, aku paham benar, dan aku satu manusia yang memegang idealisme dari sebuah prinsip yang selama ini kugenggam, kuikat aman-aman di sela-sela jemariku, kuingat lamat-lamat di dalam kepalaku yang berbelit-belit ― impianku adalah untuk melakukan hal yang paling kusuka. Kau tahu apa, untuk bersua seumur hidup dengan objek yang paling kucinta; kertas dan pena, untuk menjadi inspirasi bagi para pembaca, untuk berguna bagi orang-orang di luar sana. Aku ingin menulis. Aku ingin menulis seumur hidup. Menjadi inspirasi bagi khayalak luas, terinspirasi untuk menginspirasi. Suatu hari nanti, tulisanku akan mengalir, akan ada waktunya di mana setiap untaian kata yang kusematkan dalam tulisanku menjadi hidup, kemudian mampu menggerakkan orang lain; terinspirasi untuk menginspirasi. Begitu banyak macam-macam orang dan aku memilih untuk menjadi seorang berjiwa puitis yang melankoli, pemimpi yang gemarnya mengkhayalkan hal-hal manis dan sederhana. Memiliki jiwa yang sedikit sendu, sudah biasa. Menjadi sedih dan  melankoli, juga bukan hal yang tabu. Lumrah saja, santapan sehari-hari. Dikecewakan dunia? Sudah tak lagi asing. Begitu banyak orang berlalu-lalang, datang dan pergi dari ruang kehidupanku, sehingga rasanya lama-lama ringan saja. Itulah sebabnya mengapa menurutku, diri sendiri adalah teman yang paling sejati, mereka membangun dinding untuk melindungi diri dari sakit hati, kemudian menjadikan diri sendiri sebagai sahabat terbaik. Kertas dan pena, persoalan yang berbeda. Mereka hadir kala diri tak lagi kuat menahan beban, menjadi tulang belakang yang setia menopang, kala dunia tak bersabahat. Untuk itu, kujadikan mereka sahabat terbaikku, pendengar keluh kesah terbaikku.

Untuk bumi,

Dari Venus

Kadang, aku memikirkan begitu banyak hal dan itu mendorongku untuk menulis. Menulis lebih banyak, mencurahkan perasaan lebih dalam. Ingat, fakta nomor dua belasku, 12. Merasa sedih, itu sudah biasa. (Kamu boleh merasakan, asal jangan terlalu dalam.). Kadang, aku merasa sedih entah untuk alasan apa, kemudian aku mulai memikirkan banyak hal dan pada akhirnya, kembali menulis. Fakta nomor enamku, 6. Aku telah mempelajari bahwa ada dua macam orang kreatif di dunia ini, a.) mereka yang kreatif karena sedih dan b.) mereka yang kreatif karena punya otak gila yang luar biasa dan fakta nomor tujuhku, 7. Dan aku tipikal orang yang bisa berkarya karena perasaan sedih. Aku memang tipikal orang seperti itu.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang