Dua Sudut Pandang

3.6K 95 4
                                    

Nama perempuan itu Stefina dan Karinta benar-benar akan memperkenalkannya padaku. Dia bilang, dia akan mengajak Stefina hang out bersama kami malam minggu ini. Mendengar itu, aku begitu bersemangat dan sebaliknya, Ghea malah terlihat sedikit panas.

"Lo nggak ngajak teman cowok lo yang ganteng juga, Kar?" sindirnya. Wajahnya berubah jutek dan aku ingin tertawa sampai meledak melihatnya.

Aku menyenggol sikunya dan meledek, "Cowok ganteng banyak. Tuh," kutunjuk Adon, Fadlan, dan beberapa laki-laki lainnya yang sedang bergerombol tak jauh dari tempat kami berdiri. Adon sedang memetik senar gitar, sementara yang lainnya bernyanyi ngawur-kidul. Suara mereka lebih mirip pertempuran tank pada perang dunia kedua; hancur.

Ghea memandangku sesaat, memasang muka sebal, lalu pergi. Aneh. Karinta memikirkan hal yang sama, dia menatapku bingung dan bertanya tanpa suara, " Dia kenapa? ". Aku mengangkat bahu. Setahuku, dia sendiri sedang dekat dengan anak luar sekolah, tapi aku lupa siapa namanya.

Kemudian bel berbunyi dan sebelum masuk ke kelasnya, Karinta berseru, "Siap-siap lusa, Tlas! Semoga beruntung!" dan aku mengaminkan dalam hati.

Hari ini berjalan cepat dan cukup menyenangkan. Pelajaran Matematika tidak semembosankan biasanya karena gurunya tidak masuk, sakit. Aku meminjam gitar Adon dan memainkannya di belakang kelas, kami sekelas bernyanyi bersama. Yah, tidak semuanya, sih. Kawanan Damita syring tidak mau bergabung dan anak-anak klub manga juga seperti alien, punya planet sendiri, punya bahasa sendiri. Ada juda kelompok orang-orang ambisius yang malah mengerjakan PR.

Bel berbunyi dan aku bersiap pulang. Beberapa kali teman dari kelas lain mengajak nongkrong, tapi belakangan aku selalu menolak. Ini tahun terakhir dan waktu luangku lebih terbatas, hari Senin dan Rabu dipakai untuk les bahasa Inggris (Pemantapan untuk beasiswa kuliar di luar), hari Selasa dan Kamis untuk bimbel UN sekaligus persiapan SBMPTN, Jumat adalah hari untuk klub futsal, Sabtu pagi adalah hari untuk kursus fotografi (karena aku berencana mengambil kuliah jurusan jurnalistik atau fotografi).  Jadi, hari kosongku hanya Sabtu siang dan Minggu. Hari Sabtu setelah les pasti ke luar rumah. Entah main musik di rumah Adon yang punya basement sendiri, yang lengkap dengan seluruh alat musik, atau nongkrong-nongkrong biasa di halaman rumah Karinta atau di kafe milik Papa Ghea.

Hari keluarga berarti satu hari penuh, entah di rumah atau di luar rumah, yang hanya boleh dihabiskan bersama keluarga. Ya, hanya kami bertiga; aku, Papa, dan Mama. Kadang kami pergi ke restoran baru atau nonton bioskop di mal. Kadang kami mengunjungi galeri seni di luar kota yang masih bisa dijangkau pulang-pergi naik mobil. Kadang kami mencari tempat-tempat bagus untuk dijadikan objek fotografi (Oke, sebenarnya hanya aku dan Papa. Mama biasanya diam di mobil atau pergi ke tempat lain dekat situ). Kadang kami pergi melihat gedung-gedung rancangan Papa di pusat kota. Kadang kami menghabiskan waktu hanya di rumah, beres-beres atau nonton film bareng di ruang tengah. Kadang kami juda terlalu sibuk dengan kepentingannya masing-masing; Papa dengan desainnya, Mama dengan bisnis sabun dan krim badan organiknya, dan aku dengan tugas-tugas sekolah yang ujungnya nggak dikerjakan judged. Pada akhirnya, aku minta izin ke luar rumah dan toh, dibolehkan juga.

Sebenarnya, kesepakatan Hari Minggu Hari Keluarga itu baru berjalan selama dua bulan. Asal-muasalnya ialah permohonan kado ulangtahun Mama pada bulan Mei lalu berupa sebuah ide yang buruk. Begini ceritanya:

Pada hari ulangtahunnya yang ke -46, aku dan Papa memberinya kejutan berupa kue dan tas bermerek yang dia inginkan sejak lama. Kurang baik apanya? Atlas, anak laki-laki satu-satunya, rela menabung dari jauh-jauh hari demi membantu ayahnya membeli tas seharga jutaan itu (Yang sebenarnya hanya menyumbang beberapa ratus ribu dan sisanya dibayar oleh Papa - tapi tetap, itu adalah sebuah perjuangan.). Dan, sialnya, satu hal yang benar-benar diinginkan Mama bukanlah tas mahal itu, dia memang ingin tapi dia lebih menginginkan ini:

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang