Orang dari Masa Lalu

56 11 7
                                    

Tujuh jam kemudian, aku sampai di Stasiun Tugu. Hari sudah berubah menjadi malam, jam di layar ponselku menunjukkan pukul delapan. Suasana peron di stasiun ramai dengan orang-orang hilir-mudik membawa koper, tas, dan berbagai barang bawaan lainnya. Tepat ketika aku hendak mengambil koper dan tas dari tempat penyimpanan barang di atas kursi, ibuku mengirim pesan. Katanya, dia sudah sampai di ruang tunggu.

Mendadak saja, perutku mual. Jantungku berdegup tidak karu-karuan. Hari ini aku akan bertemu dengan ibuku, yang benar saja? Menyadari fakta bahwa dia sudah menunggu di depan, mungkin duduk atau sambil berdiri-entahlah-membuatku mual sendiri. Aku tidak yakin, apakah aku sungguh sudah siap menghadapinya? Bagaimana aku harus bersikap? Benar-benar aneh rasanya seolah tiba-tiba memiliki Ibu.

Masih dengan perasaan tegang dan jantung yang berlompat-lompatan, aku tidak lagi memikirkan soal hal lain; ospek mahasiswa, adaptasi hidup merantau, pelajaran di kuliah, dan lain sebagainya. Pikiranku terpusat pada satu hal; Ibu. Sekujur tubuhku panas dingin. Rasanya jauh lebih menegangkan daripada melihat makhluk gaib atau bertemu orang yang kau sukai. Ini jauh lebih mendebarkan, mencemaskan, sekaligus menakutkan daripada itu.

Setelah berusaha mengumpulkan keberanian, aku berjalan mengikuti petunjuk untuk menuju pintu keluar, dan sampailah aku di ruang tunggu. Lumayan ramai. Aku menyeleksi satu per satu orang yang duduk di sana, yang berdiri dan yang berjalan juga. Lantas kucari perempuan berusia empat puluh tahunan yang mengenakan baju berwarna kuning cerah, sesuai penjelasannya dari chat.

Di tengah kesibukanku mengamati setiap orang di sekelilingku, tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang. Suara lembut yang begitu kukenal terdengar, "Venus, benar?"

Aku menoleh ke sumber suara sambil menjawab, "Benar."

"Hai."

Itu ibuku. Aku terperanjat dibuatnya. Kehadirannya benar-benar tidak terduga dan, anehnya, dia terlihat sangat muda. Wajahnya, segala penampilannya, gaya berpakaiannya, semuanya. Tubuhnya setinggi aku, persis. Ibuku memakai baju dengan leher turtleneck berwarna kuning dengan tekstur garis-garis yang timbul, rok motif warna-warni, dan sepatu pantofel putih. Rambutnya bergelombang, sama persis sepertiku. Bedanya, rambutnya terlihat sangat rapi, bersih, dan terawat. Perawakan tubuhnya terhitung kurus dan rahangnya tegas. Melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri. Bedanya, ibuku terlihat jauh lebih ekspresif dan tentu saja, lebih dewasa.

"Hai, Bu," sapaku, masih canggung. Entah mengapa, mendadak aku merasa malu. Malu karena ibuku sangat cantik.

"Bagaimana kabarmu? Sehat-sehat saja, kan? Bagaimana ayahmu dan Mas Kekar?"

"Baik, alhamdulillah. Tadi Ayah dan Mas Kekar ke dokter untuk perawatan patah tulangnya."

"Oke, kalau begitu... oh, ya, bagaimana di perjalanan? Kamu sudah makan tadi? Kalau belum, kita cari makan dulu, ya," ibuku langsung nyerocos. Baguslah. Mematikan kecanggungan.

"Belum, Bu."

"Belum makan? Kalau begitu, ayo, sekarang kita cari tempat makan. Sudah jam delapan ini."

Ibuku masih bawel dan ekspresif, tidak berubah sama sekali.

Sebelum kami pergi ke kostanku, Ibu mengajakku untuk makan malam di tempat makan yang tidak jauh dari stasiun. Di sana kami duduk berhadapan, menyantap makanan kami sambil berbincang-bincang. Perbincangan panjang pertamaku dengannya setelah bertahun-tahun tidak bertatap muka. Suasana masih canggung, setidaknya bagiku, tapi Ibu benar-benar terlihat dan terdengar sangat santai. Seolah kami ini bertemu setiap hari. Sepertinya dia terlalu sering menghadapi berbagai macam orang dan situasi tidak terduga. Ia selalu bisa mengimbangi percakapan meskipun aku bersikap canggung dan tidak banyak bicara.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang