Tertarik, Menarik, Aquarius

419 26 11
                                    

Kami berjalan kaki menuju Galeri Lukisan Nasional yang hanya berjarak dua ratus meter dari gedung Perpustakaan Kota. Selama kami jalan kaki tujuh menit itu, Venus tidak berbicara sepatah kata pun. Kalau ditanya sesuatu, balasannya seadanya sekali. Selama di galeri seni pun Venus lebih banyak diam dan wajahnya murung, seperti tidak nyaman. Padahal pada kunjungan kami sebelumnya, dia banyak berkomentar soal ini dan itu, terlihat bersemangat. Entah apa yang mendadak sangat mengganggu pikirannya.

Aku mendokumentasikan beberapa hal, isi galeri secara keseluruhan, lukisan-lukisan, orang-orang yang berlalu-lalang dan berhenti sejenak untuk mengamati sekeliling, dan Venus. Venus yang diam duduk di atas bangku panjang di tengah ruangan, Venus yang memandang ke lukisan di seberangnya dengan pandangan kosong, Venus yang melamun, Venus tampak seperti sedang berpikir keras, Venus yang mondar-mandir sambil mengamati ini dan itu, Venus yang menganalisa dan berusaha mencerna makna dari tiap-tiap lukisan, Venus yang mendengarkan musik melalui earphone­-nya, dan Venus yang melakukan semuanya dalam diam. Kecuali, pertanyaan yang diajukan padaku sebelumnya, di mana toilet dan setelah kutunjukkan, dia buru-buru lari ke sana. Apa mungkin selama empat puluh menit ini dia diam saja karena mau ke belakang? Lebih baik kusingirkan ide itu.

Sembari menunggunya, aku duduk di bangku panjang yang terbuat dari kayu tak jauh dari toilet. Seberangnya terhampar rumput hijau yang cukup luas, dipenuhi patung berbagai bentuk dan pohon-pohon rindang yang dibentuk menjadi apa saja, bentuk abstrak kebanyakan. Bahkan taman pun dibuat sedemikian berseni dan memiliki nilai estetika. Benar-benar keren.

Ketika Venus selesai, dia duduk di sebelahku. Jeda panjang di antara kami, hanya ada suara gemericik air mancur dari pojok taman, burung gereja yang beterbangan seraya sesekali bersiul, dan suara desir angin sepoi-sepoi.

"Pernah merasa sangat kecewa?" dia tiba-tiba bertanya, menoleh, dan rambutnya yang tergerai ditiup angin mulai menutupi sebagian wajahnya. Dia menyibakkan itu dari mukanya. "Jika jawabannya ya, apa alasannya?"

Aku berpikir agak lama. "Pernah?" dahiku berkerut, heran dengan pertanyaannya. "Lumayan sering. Kenapa?"

"Bukan apa-apa," gumamnya, sambil meluruskan kaki. "Jadi, yang membuat orang kecewa itu karena ekspektasi yang terlalu tinggi sehingga dunia rasanya nggak bisa memenuhi harapan, karena nggak memetik pelajaran dari setiap kejadian, atau karena dunia memang berlaku seperti itu?"

"Seperti itu bagaimana?"

"Seperti itu, tidak adil." Venus diam sebentar. "Walaupun gue selalu percaya kalau dunia nggak adil bagi setiap orang."

Aku tidak paham kenapa dia tiba-tiba membuka topik soal kecewa. Yang kutahu selanjutnya adalah kami duduk di warung makanan seafood kecil yang terkenal, terletak tidak terlalu jauh dari galeri seni, di sebelah jembatan, dekat sungai panjang dengan aliran air yang cenderung stagnan dan tidak jernih.

"Banyak limbah pabrik di sana," ujar Venus, menunjuk ke sungai di belakang tempat kami duduk, airnya kotor. Kemudian, dia kembali berbalik dan berkata lagi, "Yah, tahu soal kerang yang mengandung zat berbahaya, kan? Timbal? Laut kita juga tercemar."

Aku mengangguk pelan, lalu menyeringai lebar. "Ya dan kita akan memesan itu." aku menunjuk ke arah kertas menu, kerang hijau dan kerang dara yang dicampur dalam satu piring.

Mendadak, mata Venus melebar kaget, tapi dia tertawa kecil, "Oke, hanya sesekali. Untuk kali ini. Sepakat."

Selama menunggu pesanan kami datang, aku bertanya sekali lagi, entah sudah berapa kali aku menanyakan soal ini—jadi, seberapa penting koran keluaran tahun 80-an itu?. Yang mulanya, masih tidak juga dijawab Venus. Dia hanya berdalih, sama seperti sebelumnya—penting, sangat penting. Kemudian, ketika aku tidak menjawab apa-apa dan membiarkan suasana di antara kami diam, dia malah mulai bercerita.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang