Atlas vs. Venus (Vol. 1)

446 30 8
                                    

Hari Sabtu, pukul delapan lewat puluh puluh lima menit, Ayah sudah berangkat entah sejak berapa menit yang lalu. Atau barangkali, berapa jam yang lalu. Lampu garasi, teras, dan ruang tamu belum dimatikan. Piring bundar berwarna putih tergeletak di atas meja makan, remah-remah sisa kulit kering roti tawar tersisa di atasnya, lengkap dengan pisau roti, sekotak butter yang dibiarkan terbuka, dan sekaleng saus maple tergeletak di sampingnya. Cangkir hijau milik Ayah berada di sisi lain meja makan, masih diisi kopi hitamnya yang baru diteguk setengah, dan seikat surat kabar yang belum diapa-apakan, tampak tidak tersentuh sama sekali, masih tergulung rapi di sisi kanan cangkir hijau itu. 

Aku yakin Ayah berangkat buru-buru sekali tadi pagi. Aku mengelap meja makan dengan lap kering yang digantung dekat kulkas, membersihkan sedikit tumpahan kopi hitam. Kebiasaan ayahku adalah menyeduh kopi dan meneguknya selagi panas, juga tidak pernah menggunakan tatakan cangkir. Kugantung kembali lap kotak-kotak biru-putih yang kini dinodai sedikit kopi ke tempatnya, lalu kubuka pintu kulkas untuk mengambil sekotak susu murni dan hendak menuangkannya ke gelas beling tepat sebelum perhatianku terhenti pada sticky notes berwarna kuning terang yang terlihat seperti baru saja ditempel. 

Sticky notes itu ditulisi huruf sambung yang hampir tidak bisa dibaca, ditulis dengan tinta pulpen yang tampak seperti ditekan kuat-kuat saat menulis sehingga warna hitamnya menjadi tampak pekat-sangat khas ayahku. Kubaca isinya, Di kantor sampai pukul tiga sore. Harus menyambut tamu dari luar negeri. Ada makanan beli semalam di kulkas. Kalau mau beli sarapan, ada uang di laci meja ruang tengah.

Aku hanya diam dan langsung mengambil sekotak susu murni dari kulkas, mengabaikan sebuah plastik bening berisi sterofoam putih berisi makanan yang pasti Ayah maksud. Isinya mungkin bakmi goreng atau nasi goreng Cina dari warung makan kesukaan Ayah. Aku menuju dapur dan mengambil gelas bening dari rak alat-alat makan, lalu menuangkan susu. Wastafel di sebelah rak alat-alat makan berantakan, airnya tersumbat dan sedikit menggenang, piring-piring kotor sisa makan kemarin masih tertumpuk di sebelahnya. Usai mencuci dan meletakkan mereka semua kembali ke rak, aku ke meja makan dan mengoles setangkup roti tawar dengan selai kacang.

Kunyalakan TV di ruang tengah, hanya agar suara samar darinya memberikan setidaknya sedikit kehidupan di tengah rumah yang terasa begitu sepi ini. Aku memotong-motong rotiku menjadi empat bagian, sebelum hendak menyantapnya bersamaan dengan segelas susu yang baru saja kutuang ulang, tepat ketika telepon rumah di ruang tengah berdering.

Kuangkat, kusapa dengan sapaan paling standar yang dilakukan semua orang ketika mengangkat telepon-Halo, ini Venus, dengan siapa di sana dan ingin berbicara dengan siapa?-namun, tidak ada jawaban. Dahiku berkerut, hingga akhirnya satu kata keluar,

"Venus!" suaranya terdengar riang, tapi dalam dan berat, dan aku yakin aku begitu kenal dengan suara itu dan pemiliknya. "Apa kabar, heh?"

"Kita, kan, baru bertemu minggu kemarin," aku mengerang, sementara pundak kananku menahan gagang telepon yang menempel pada telingaku, tangan kiriku melilit-lilit kabelnya yang keriting, dan tangan kananku menggenggam sepotong roti. "Jangan coba-coba bersikap sok akrab denganku. Mau minta tolong apa lagi?"

"Oh, ayolah. Berhenti bersikap skeptis sama abangmu yang paling ganteng ini," Mas Kekar menggoda dan aku memutar bola mata, hampir saja muntah. Seolah dia bisa melihat ekspresiku, dia mengerang, "Kali ini aku nggak mau minta tolong apa-apa, sumpah!"

Tiba-tiba, dia diam sejenak, ada hening yang sedikit canggung di antara kami. Hingga akhirnya dia menghela napas dan bicara lagi, "Dengar, aku hanya mau bilang kalau aku bakal jarang pegang hp selama satu bulan ke depan, karantinaku dimulai hari Senin."

Intonasi suaranya berubah lebih serius, aku bisa membayangkan ekspresinya yang juga ikut berubah. "Senin? Senin, senin yang besok ini? Dua hari lagi?" ulangku. "Yakin nggak mau izin dulu ke Ayah, Mas?"

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang