Keluarga

2.7K 68 2
                                    

Waktu berjalan begitu cepat. Jumat sudah ada di penghujung hari, aku sedang memasukkan baju ganti dan peralatan mandi ke dalam tas ransel ungu tuaku ketika adzan Magrib berkumandang. Setelah sholat, aku memesan ojek online dan menuju rumah Damita.

            Rumah Damita tidak terlalu jauh dari rumahku, hanya memakan waktu sekitar lima belas menit sampai sana. Berbeda dengan rumahku yang merupakan cluster bergaya minimalis, rumah Damita terletak di sebuah perumahan lama. Kebanyakan rumahnya masih bermodel lama, berlantai satu, berpagar besi, dan jelas luasnya lebih besar dari rumah-rumah di clusterku.

Rumah Damita sendiri masih bergaya klasik, catnya berwarna kuning muda seperti mentega, pagarnya berwarna putih yang mulai pudar, taman depannya dihiasi berbagai tumbuhan rambat dan bunga kamboja dalam pot. Ini pertama kalinya aku datang ke rumahnya untuk menginap. Kupencet bel, tak lama kemudian pintu terbuka dan Damita keluar.

"Hei!" serunya sambil tersenyum lebar. "Ayo, masuk!"

Kali ini rumah Damita ramai. Kakak laki-lakinya sedang mengetik di atas meja makan. Adik laki-lakinya sedang menonton TV bersama ayahnya di ruang tengah. Melihat seluruh anggota keluarga Damita berada di rumah, mendadak aku merasa tidak enak dan sangat merepotkan. Sempat terlintas di benakku bahwa ini sungguh ide yang buruk dan lebih baik aku pulang saja, sebelum Mama Damita muncul dari dapur, menyambut dan mencium kedua pipiku.

"Venus! Akhirnya..." dia memelukku. Aku agak risi, tapi memang Mama Damita orang yang hangat dan suka memeluk siapa saja. "Begitu, dong, kalau lagi sendirian di rumah, datang ke rumah kita aja."

            Selanjutnya, aku salim dengan Papa Damita yang tengah menonton televisi, terdengar samar berita malam disiarkan, sementara ia masih mengenakan kemeja kerjanya. Setelah basa-basi sedikit dengan Papa dan Mama Damita, aku mengucapkan terima kasih karena sudah mengizinkan untuk tinggal selama satu malam dan meminta maaf karena sudah merepotkan. Mereka menjawabnya dengan kibasan tangan sambil mengatakan bahwa aku sama sekali tidak merepotkan.

            "Nyokap gue sudah menyiapkan semua keperluan lo, kok, Nus. Handuk untuk mandi, sikat gigi kalau lo lupa bawa. Dia senang banget waktu denger lo bakal nginap," ujar Damita ketika kami berjalan menuju kamarnya. Kamar Damita terletak di dekat halaman belakang dan berhadapan dengan kolam ikan. Jadi, ketika membuka pintu, yang pertama kali terlihat adalah batu-batu alam hias yang sengaja ditaburkan dan kolam ikan. Bahkan sejak pertama kali, aku sudah amat menyukai kamar Damita yang bernuansa hijau susu itu.

            Dan benar saja. Mama Damita sudah menyiapkan segala sesuatunya. Matras tempatku tidur sudah dipakaikan sprei, lengkap dengan bantal, guling, dan selimutnya. Baik sekali.

Damita menyalakan AC dan kami mengobrol banyak tentang sekolah dan teman-teman. Pukul setengah delapan lewat, pintu tiba-tiba terbuka dan kakak laki-laki Damita, Petra, menyembul.

"Kalau mau masuk, ketuk dulu, dong, pintunya! Nggak sopan, tahu," Damita bangkit dan memukul lengan kakaknya. "Kalau tau-taunya gue lagi ganti baju gimana? Kebiasaan!"

Diam-diam, aku rindu masa-masa Mas Kekar ada di rumah. Walaupun kami tidak dekat, tapi setidaknya kalau ada dia, aku punya teman dan rumah tidak terasa sekelabu sekarang. Kakak Damita juga sudah kuliah, tapi beruntung dapat universitas di kota kami dan pulang seminggu sekali.

"Iya, iya, maaf," kakaknya menyahut dengan malas. "Eh, disuruh Mama makan malam."
Jadilah malam ini aku ikut makan di meja makan keluarga Damita.
            Sejauh ini, bagiku keluarga Damita adalah keluarga yang paling menyenangkan dan hangat. Mama Damita adalah gambaran seorang ibu paling ideal yang pernah kutemui, perannya sebagai sosok wanita penyayang dan pemerhati keluarga itu selalu kuharapkan ada di dalam rumahku. Dia bukan jenis ibu rumah tangga yang curang; menyewa jasa pembantu dan menyerahkan seluruh pekerjaan rumah padanya supaya dia sendiri bisa leha-leha. Tidak. Kata Damita, dia melakukan segala sesuatunya sendiri; mulai dari memasak, membersihkan rumah, hingga mengatur dan menghitung anggaran belanja bulanan dan uang jajan. Sedangkan Papa Damita adalah orang yang cerdas dan suka melawak, tapi juga tegas. Gambaran yang menurutku pas untuk seorang kepala keluarga. Kakak Damita, Petra, tak kalah menyenangkan. Dia memang suka meledek dan tukang bully adik-adiknya, tapi di balik semua itu, setidaknya dia sama serunya dengan ayahnya – cerdas dan suka melawak. Tingkah laku dan perkataannya sering kali membuat seisi meja makan akhirnya diwarnai gelak tawa. Adik laki-laki Damita sedikit lebih santai dan lebih sering jadi pendengar. Menurut Damita, dia enak diajak curhat, malah sifatnya lebih dewasa dari Petra.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang