Atlas Menjauh

87 11 4
                                    

Atlas menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. Sementara itu, jam tangan di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul sembilan lewat, kuperhatikan lampu di garasi, teras, dan ruang tamu yang menyala. Ini Sabtu malam, Ayah mungkin sedang menonton TV atau berkutat dengan laptopnya, bekerja, atau entah apa lagi yang dia lakukan. Aku keluar dari mobil, berpamitan dengan Atlas, melambaikan tangan, dan mengucapkan terima kasih untuk hari ini. Dia membalasnya dengan senyuman dan lambaian tangan, lalu pergi hingga mobilnya menjauh dan tak lagi tampak di pandangan mata. Hanya aku yang tersisa, berdiri di depan rumah, memandangi jalanan kelabu di depanku yang kosong disinari pantulan cahaya dari lampu jalanan, mengingat-ingat keseluruhan momen hari ini, dan menyayangkan betapa waktu cepat berlalu.

Begitu aku memasuki rumah, benar dugaanku. Ayah menonton TV, menyaksikan siaran berita malam. Ketika melihat pintu depan terbuka dan ada aku memasuki ruang tamu, melintasi ruang tengah tempatnya duduk di sofa, ia bertanya dari mana saja aku seharian. Sama sekali tidak dengan nada penuh curiga, benar-benar hanya bertanya. Kujawab kalau aku dan teman sekelompokku habis mengunjungi pertunjukan seni tari. Dia bertanya lagi, "Di mana itu?"

Aku memandangnya selama beberapa detik, baru menjawab. "Di dekat danau. Kita ke danau juga."

Ayahku tampak terkejut sesaat, mengangguk-angguk. "Sudah lama kita nggak ke sana, ya?"

"Tadi mampir lihat rumah juga." kataku ragu-ragu, sebelum naik ke kamar.

Mata Ayah membelalak, kacamatanya melorot sampai hidungnya saat ia menoleh padaku. "Oh, ya?"

Aku mengangguk. "Rumahnya berubah, sudah direnovasi." kataku. Kami terdiam, lalu aku naik tangga ke atas, berlarian kecil menuju kamar.

Sesampainya di kamar, entah mengapa, aku menangis.

Hal yang pertama kali kulakukan adalah menyadari betapa hari ini menyenangkan sekaligus begitu melelahkan. Aku menghabiskan banyak waktu, hampir seharian, bersama Atlas lagi. Kami mendengarkan musik dari playlist-ku selama perjalanan pulang, menikmati suasana malam, menyantap es krim, menyaksikan pertunjukan seni tari, berdiskusi tentang kisah yang disampaikan melalui gerakan-gerakan tari, menikmati soto mie paling enak, melihat rumah lamaku, berpiknik, dan bertukar cerita. Ya, aku bercerita. Tidak kusangka aku punya seluruh keberanian itu; kembali ke tempat tinggal masa kecil, mengunjungi banyak kenangan lama, kusantap dalam satu hari yang sama. Mencoba berdamai dengan ingatan masa lalu juga satu hal lain yang melelahkan sekaligus melegakan. Bersama Atlas, aku jadi berani membuka diri dan lebih membiarkan diri merasakan apa adanya. Rasanya lebih ringan, seperti ada sedikit beban yang terangkat. Aneh. Segala yang terjadi hari ini benar-benar ajaib.

Rasanya seperti fakta nomor delapanku, Menjadi orang yang tertutup dan terbuka pada saat bersamaan adalah hal yang cukup melelahkan. Ada beberapa bagian cerita yang kubagikan, ada pula yang kusembunyikan. Semua kupilih dengan hati-hati agar lidahku tidak meloncat begitu saja mengeluarkan kata-kata yang tidak seharusnya kulontarkan. Proses memilah-milah itu sebenarnya cukup melelahkan, aku harus mengingat semuanya, memprosesnya, dan menyortir ulang banyak hal. Seperti semua ingatan yang ada bercampur aduk menjadi satu di benakku, kemudian dikotak-kotakan dengan label boleh dikeluarkan dan tidak. Sebenarnya, masih ada banyak yang ingin kuceritakan, tapi ada sesuatu yang masih menahanku supaya tidak bercerita hari ini semuanya pada Atlas.

Mungkin nanti, entah kapan, aku tidak tahu pasti.

Apa yang kurasakan sekarang sesungguhnya kelelahan, tetapi penuh kesenangan juga. Selain karena menghabiskan waktu berdua dengannya, janji Atlas mengantar sebelum berangkat ke tempat rantau itulah yang membuatku kegirangan. Dia ingin jadi orang yang mengantar atau diantar. Apakah salah kalau janji itu membuatku merasa sedikit saja, istimewa? Dia ingin berpamitan denganku sebelum nantinya benar-benar tidak akan melihat satu sama lain lagi. Meskipun masih lama dan entah apa yang akan terjadi nanti, tapi tetap saja ada perasaan terharu sekaligus sedih yang tiba-tiba datang menyeruak setelah memikirkannya.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang