Permainan bola di istirahat kedua siang ini selesai sudah. Kami—anak-anak IPS menang dengan skor 2-1, melawan tim anak-anak IPA. Matahari bersinar begitu terik hari ini, kuseka peluh yang membasahi pelipis dan leher, kemudian kuteguk segelas air mineral yang kutitipkan pada salah satu teman yang hanya menonton di pinggir lapangan. Setelah itu, kulemparkan botol plastik berwarna bening itu pada Gavin.
Tapi, yang menerima malah melengos dan mengambaikan lemparan botol plastikku. Botol plastik malang itu jatuh tersungkur ke permukaan lapangan bola yang keras. Entah apa yang sedang Gavin perhatikan, matanya mengarah ke ujung koridor lantai dua. Rupanya, di sana ada segerombol anak cewek dari kelas kami yang sedang berkumpul. Mereka mengobrol, menyender santai pada dinding koridor kelas dua—koridor kelas kami. Bukan Karinta dan kawan-kawannya—tentu saja mereka masih nongkrong di kantin—melainkan, Damita dan kawan-kawannya.
Aku meninju perut Gavin dengan ujung botol dan dia terlonjak. Aku tahu dia sedang memandangi salah satu perempuan di gerombolan itu. Salah satunya yang berambut sepundak, sekelompok di tugas karya tulis Bahasa Indonesia dengannya, dan sejak minggu kemarin Gavin terlihat cukup sering mengganggunya di kelas. Aku tidak tahu apa motivasinya berbuat jahil padanya, apakah murni karena senang melihat reaksi perempuan itu atau memiliki maksud lain. Tapi, kelihatannya dia memang memiliki maksud lain.
"Jadi, gimana kabar pendekatan lu dengan Alissa. Lancar?" tanyaku, masih menyadari bahwa mata Gavin sama sekali belum teralihkan dari ujung koridor lantai dua alias Alissa.
Mendengar itu, muka Gavin memerah. "Pendekatan apanya. Sotoy lu," dia mencibir, lalu mengambil botol mineral dari tanganku dan segera meneguknya.
Aku meledek lagi, "Oooh, gagal, ya?" lalu, menahan tawa. "Jangan langsung nyerah gitu, lah."
Gavin menoleh ke arahku, wajahnya menunjukkan ekspresi protes. "Gagal apaan? Boro-boro deketin, suka juga nggak! Jangan suka bikin rumor yang nggak-nggak deh," katanya, mendadak defensif. Rumor apanya? Jelas-jelas satu kelas ngecengin mereka berdua. Tawaku akhirnya meledak.
Tapi, Gavin mengabaikan ledakan tawaku dan mengalihkan pembicaraan. Dia bertanya apakah aku Sabtu ini bisa ikut nonton tribute band The Beatles favorit kami yang akan manggung di salah satu bar di tengah kota. Aku menjawab Sabtu minggu ini aku belum membuat rencana pergi ke mana pun karena Stefina akan pergi bersama keluarganya dan teman-teman kami yang lain belum mengajak kemana pun. Jadi, aku langsung mengiyakan karena kupikir aku bisa datang dan tentu saja aku harus datang.
Tapi, sepertinya sebelum aku menikmati acara musik di hari Sabtu itu, aku harus bersakit-sakit dahulu sebelum berenang ke tepian. Sebab, di pelajaran Bahasa Indonesia seusai istirahat, Bu Tanti mengadakan interogasi kecil-kecilan terhadap seluruh kelompok mengenai progress pengerjaan karya tulis. Jelas satu seantero kelas langsung mati kutu.
"Hei, bagaimana progressnya?" tak lama kemudian, Aya menghampiri mejaku. Kacamatanya yang tebal dan agak kebesaran itu merosot sampai ke ujung hidungnya, kemudian dia membenahi dan membuatnya kembali naik ke atas, tapi lagi-lagi merosot. Lalu, dia melirik ke arah meja guru di depan kelas dengan pandangan was-was.
Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya bisa mengangkat bahu. Kulepas sebelah earphone dan baru melihat ke arahnya. Padahal, salah satu lagu Arctic Monkeys sedang berputar di Spotify-ku. Tapi, kehadiran Aya yang dilengkapi pertanyaan sederhananya—yang sebenarnya, tidak menjadi sekedar pertanyaan sederhana—membuatku ikut agak was-was. Iya juga, bagaimana kabar kelompok Bahasa Indonesia kami?
Aku jadi ikut memandangi Bu Tanti yang sedang duduk di meja guru. Ia terlihat begitu santai, menikmati kegiatan menginterogasi perkembangan tugas karya tulis masing-masing kelompok. Buku absen seakan sudah diselotip pada telapak tangannya, tidak bisa lepas. Berkali-kali dia memanggil nama demi nama yang ditunjuknya secara asal, kemudian apabila nama sial itu sudah dipanggilnya—maka, mau tak mau, yang bersangkutan harus segera maju ke depan untuk mewakilkan kelompoknya. Kalau pemilik nama itu tidak mau maju dan menjawab pertanyaan-pertanyaan interogasi Bu Tanti, imbasnya satu kelompok akan kena semprot. Seperti kelompok Karinta yang dapat pengurangan nilai sebanyak lima poin karena tidak ada satupun anggotanya yang mau maju ke depan. Antara mereka yang payah atau pertanyaan Bu Tanti memang semenyeramkan itu. Aku bergidik dalam hati.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Ficção AdolescenteUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...