Janji adalah Janji

64 11 1
                                    


"Dia ke sini tadi sore, lalu entah pergi ke mana." aku menggeleng pelan, masih menoleh ke arah Atlas yang mencari sahabat karibnya itu, Gavin. Dari posisiku yang duduk dan dia yang berdiri, badannya tampak tinggi sekali. Rambutnya tebal dan acak-acakan karena ditiup angin malam, dia mengenakan crewneck sweater berwarna abu-abu muda polos.

"Oke," jawab Atlas, lalu tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Sesaat kemudian, dia berjalan mendekat dan sekarang dia berdiri di sampingku, yang masih duduk mendekap kedua kaki di dada. Atlas berkomentar lagi sambil melipat kedua tangan di dada dan merapatkannya—pasti kedinginan, "Mirip Bukit Bintang, ya?"

Aku sedikit tersentak, lalu mengangguk perlahan. "Ya, mirip. Sangat mirip."

Diam sejenak di antara kami.

"Di sini kosong?" tanyanya tiba-tiba, menunjuk rumput yang ia pijak, tempatnya berdiri sekarang. "Boleh duduk di sini?"

Aku terkejut, tapi segera mengangguk. Sekarang Atlas yang mau duduk di sini, buat apa? Namun, bodohnya, kenyataan itu masih cukup membuat jantungku berdebar-debar senang. Perlahan Atlas duduk bersila, sekarang dia benar-benar duduk di sebelahku, memandangi lampu-lampu gedung di bawah sana. 

Aku jadi teringat masa-masa dulu ketika kami duduk berdua di atas Bukit Bintang.

"Dari tadi sini aja?" Atlas bertanya.

Aku mengangguk. "Dari tadi."

"Wow, di tengah udara sedingin ini?"

"Dingin, tapi bukan masalah. Pemandangannya bagus," balasku sambil menoleh ke arahnya. Atlas balik menoleh dan mengangguk setuju, lalu kami sama-sama tersenyum kecil. Setelahnya, kami diam dan memperhatikan pemandangan lampu-lampu dari perumahan dan gedung hotel di bawah sana. Aku bertanya memecah kesunyian, "So, how's life?"

Atlas menghela napas. "Yah, begitulah... Good, but not so good." dia memajukan bibirnya, sedikit mengerucut. "Kemarin sudah daftar beasiswa."

"Oh, ya? Bagaimana hasilnya?" aku terdengar sedikit lebih antusias dari yang kumaksud.

Kedua bahu Atlas terangkat, "Ditolak. Dua-duanya."

Aku terperanjat dan langsung membalikkan badan menghadapnya, "Yah, sayang sekali..."

Atlas hanya diam, mengangguk-angguk.

"Jadi, selanjutnya apa? Mau coba lagi?"

"Jalur tes, juga ada beasiswa lain yang masih buka. Memang harus ngebut. Tapi nggak apa-apa. Kita coba dulu."

Aku tersenyum kecil, senang mendengarnya bisa bersikap santai dalam menghadapi sesuatu. Seperti dirinya dulu-dulu, dia tidak berubah. Seolah tidak ada yang menakutkan soal masa depan. "Cool. Semangat, ya. Semoga berhasil."

"Jadi daftar untuk Sastra Inggris di universitas Yogyakarta?" tanyanya.

Dia masih ingat, ternyata. Itu membuatku cukup sedikit tersanjung, rasanya seperti ada bunga-bunga mulai merekah di perutku. Aku menjawabnya sedikit kikuk entah mengapa, "Benar. Jadi, kok," jawabku. Setelahnya, dia membalas mengucapkan semoga berhasil. Aku berkata lagi, "Oh ya, ingat cerpen Nenek Fatma yang akhirnya cerita nggak diterbitkan di mana-mana itu?"

Atlas mengangguk.

"Mau tahu akhir ceritanya gimana?"

Atlas memandangku terkejut, "Oh, sudah ketahuan? Gimana?"

Terbawa suasana, aku mulai menceritakan tentang bagaimana bisa bagian akhir cerpen itu ditemukan, tentang kunjunganku ke rumah Nenek Fatma di Yogyakarta pada awal tahun ini, bagaimana suasana di ruang kerja Nenek Fatma yang penuh buku dan berlembar-lembar kertas karyanya, pemakamannya, hingga bagaimana hubungan di dalam keluarga kami, setidaknya, sedikit saja menjadi lebih baik sejak itu. Tidak lupa, aku juga bercerita tentang Mas Kekar yang sedang bersiap-siap berangkat ke kompetisinya dan segala macam persiapan hebohnya. Minggu depan aku dan Ayah akan mengantarnya ke bandara untuk pamitan. Mendengar itu, Atlas mengucapkan semoga berhasil, lalu kami lanjut mengobrol tentang hal lain. Film-film lama, musik-musik, sekarang Atlas sedang mengulik genre blues, soul, hingga jazz.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang