Upacara Hari Senin

619 40 0
                                    


"Jadi, dia serius tetap mau ikut kompetisi itu?" Damita bertanya pagi-pagi hari Senin sebelum upacara bendera dimulai di lapangan. Masih ada dua puluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi dan guru kesiswaan mulai meneriaki murid-murid untuk segera turun ke lapangan melalui speaker sekolah.

Aku mengangkat bahu, tidak terlalu yakin bagaimana kelanjutannya.

Damita masih menyantap sarapannya, semur ayam dan nasi putih. Dahinya berkerut, "Memangnya nggak ada surat persetujuan dari orang tua, gitu? Terkait perizinan karantina, biaya, dan lainnya."

Tiba-tiba, aku baru tersadar dan betapa bodohnya diriku. Iya juga, normalnya untuk mengikuti perlombaan berskala besar pasti membutuhkan surat persetujuan dari orang tua. Apalagi, ini akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan menyita waktu cukup lama, persiapan yang membutuhkan karantina dan jadwal perlombaannya itu sendiri. Kenapa Mas Kekar begitu ceroboh dan tidak berpikir panjang? Kecuali, dia benar-benar akan memalsukan semuanya. Entahlah, kadang dia terlalu banyak akal.

"Harusnya ada," jawabku, sembari memandangi sekeliling kelas. Masih banyak yang belum datang, termasuk Atlas. Dia datang terakhir biasanya.

"Tuh, kan," Damita bergumam sambil memotong ayamnya dan memasukkan ke dalam mulut. "Cepat atau lambat, rencananya bakal ketahuan. Tenang, Nus."

Aku tenang-tenang saja sebetulnya. Dua hari yang lalu, Mas Kekar meninggalkan rumah sore-sore untuk berangkat lagi ke Bandung dan dia meledekku sebelum pergi kalau selama ini tanpanya di rumah, aku seperti latihan hidup ngekos; sendirian. Sialan, balasku dan dia tertawa. Tapi, bukan itu intinya. Dua hari yang lalu sore-sore Mas Kekar berangkat ke Bandung dengan membawa fotokopian dokumen yang dia butuhkan dan ada perasaan berat sekaligus haru ketika melepasnya kali ini. Aku hanya punya pikiran entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi. Beberapa bulan lagi seharusnya, tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyempatkan diri pulang ke rumah setelahnya atau sibuk mengurusi hal lain, seperti urusan perkuliahan yang dia tinggalkan. Aku senang setiap Mas Kekar pulang ke rumah, rasanya seperti ada yang menemani walaupun dia sering menyebalkan. Sayangnya, Mas Kekar jarang pulang kecuali urusannya sangat mendesak dan penting. Urusannya banyak di Bandung.

Aku melamun, tiba-tiba teringat Mas Kekar yang berpamitan di teras rumah. Pertama kalinya dia memelukku entah sejak kapan terakhir. Walaupun kami tidak banyak bicara, dia mendoakanku banyak hal baik-yang sebelumnya, tidak pernah dia lakukan kecuali di hari ulang tahunku. Aku mendoakannya semoga seluruh urusannya lancar sampai garis akhir nanti, terlebih semoga dia menang, dan yang terpenting-semoga dia bisa cepat pulang. Kemudian, ojek online-nya datang dan dia menghilang, berangkat ke terminal. Secepat itu dan aku tidak tahu apakah aku akan melihatnya lagi dalam waktu dekat ini. Dia juga memohon (lagi) agar aku merahasiakan ini dari Ayah. Kemarin siang Ayah sampai rumah dan dia tidak bertanya apa-apa tentang Mas Kekar, jadi aku juga diam saja. Aku akan merahasiakannya karena aku memang tidak berniat membuka topik apapun mengenai rencana sintingnya ini jika Ayah memang tidak menanyakan. Aku tidak mau melindungi abangku sendiri dengan cara berbohong, jadi aku memilih diam dan tidak ingin terlibat dengan urusan nekatnya.

"Ayah lo pasti bakal tahu, Nus," kata Damita sambil menepuk bahuku pelan. "Lagipula, kenapa dia harus nyembunyiin tentang ini, sih? Ayah lo juga pasti akan dukung, nggak mungkin nggak."

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ayahku memang akan mendukung, tapi beberapa tahun terakhir aku tahu Ayah sedang mengumpulkan uang mati-matian untuk biaya kuliahku tahun depan. Sepertinya, tidak banyak uang tersisa untuk keperluan di luar itu. "Dia nggak mau bikin Ayah khawatir, Dam, makanya merahasiakan ini. Katanya, belum tentu juga timnya menang."

Dahi Damita berkerut lagi. Ekspresinya seperti heran, tidak mengerti. "Lho, namanya perlombaan, ya kan? Pilihannya cuma ada dua, kalah atau menang."

Aku mengangkat bahu, kemudian menghela napas dan merebahkan kepala di atas meja. Damita melanjutkan sarapannya, sementara aku membuka ponsel dan menancapkan earphone, mendengarkan musik.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang