Akhirnya, ada ucapan selamat tertera di pengumumanku.
Setelah berkali-kali ditolak saat mendaftar beasiswa ini dan itu, akhirnya salah satu universitas di Adelaide, Australia—yang beberapa waktu lalu kuikuti tes tertulisnya—menerimaku sebagai mahasiswa baru. Untuk jurusan Journalism and Mass Communication.
Mama dan Papa senang sekali mendengar kabar itu. Mama langsung menelepon Kakek dan Nenek, mengundang mereka untuk datang ke rumah dan mengadakan family dinner sederhana tepat pada malamnya. Kami memesan makanan Italia, sementara Nenek datang membawa beberapa hidangan penutup; seloyang apple strudel, puding vanila, hingga salad buah. Makanan yang cukup melimpah, tapi kami menikmati makan malam yang jarang-jarang dilakukan ini. Baru sekarang setelah sekian lamanya Kakek dan Nenek datang lagi ke rumah.
Minggu depannya, setelah melakukan online registration dan segala urusan yang menyangkut administrasi kampus selesai dilakukan, aku menghabiskan banyak waktu untuk berkumpul dengan teman-teman. Kali ini temanya merayakan hari-hari terakhir sebelum kami memasuki jadwal di kampus masing-masing; ada yang akan memasuki masa orientasi mahasiswa baru, ada yang akan mulai kelas pertama di perkuliahan, juga sebelum aku berangkat ke Australia di akhir pekan depan.
Kini berkumpul dengan teman-teman rasanya lebih melegakan sekaligus mengganjal. Setiap melihat satu per satu wajah teman-temanku, satu hal yang secara spontan teringat adalah sebentar lagi—sudah tinggal selangkah lagi—kita akan berpencar di jalan masing-masing. Aneh, bagaimana tiga tahunku selama SMA dihabiskan bersama mereka, tiba-tiba kita akan hidup jauh-jauhan nantinya.
Tapi inilah saatnya. Pelan-pelan momennya akan tiba.
Hingga seminggu terakhir sebelum keberangkatanku ke Australia, kuhabiskan sebagian besar waktuku untuk benar-benar memuaskan diri berkumpul dengan teman-teman, jalan-jalan dengan Stefina, dan berpamitan dengan orang-orang komunitas musik di music store Max Match. Sebagian besar barangku juga sudah dipak ke dalam kardus-kardus besar dan kardus-kardus itu sudah dikirim ke kamar asrama sejak beberapa hari yang lalu. Jadilah sekarang yang tersisa di kamarku hanya beberapa helai pakaian, sepatu, dan barang-barang kecil lainnya di kamar. Mendadak kamar jadi terasa sangat kosong dan luas.
Anehnya, tepat satu hari sebelum keberangkatanku, yaitu pada Jumat pagi, tiba-tiba Damita mengirim chat. Isi chatnya lebih aneh lagi, katanya begini, Hei, Tlas, dengar-dengar, besok lo berangkat ke Aussie, ya?. Dahiku mengkerut, tapi akhirnya kujawab iya, jadwal berangkatnya besok. Lalu, yang semakin mengejutkan, dia membalas kurang dari satu menit dengan isi yang lebih aneh lagi, Btw, lagi di rumah nggak? Kalau iya, sekarang gue boleh ke rumah lo nggak? Dahiku semakin berkerut, tanda tanya memenuhi kepalaku seolah ada '???' besar di atasnya. Kenapa juga tiba-tiba Damita mau mampir ke rumah? Spontan, kutanyakan buat apa dia main ke rumah. Tapi, beberapa detik kemudian, Damita membalas lagi, Penting. Tolong share location rumah lo, ya.
Aku melongo. Sekarang masih jam setengah sembilan pagi dan aku sudah dibuat bingung.
Sepersekian detik aku hanya diam sambil memandangi balasannya, bingung. Tapi, entah mengapa, ada energi aneh yang mendorongku untuk menuruti permintaannya. Aku dihiptonis atau bagaimana? Tidak ada yang tahu. Akhirnya, kukirim alamat rumahku. Walaupun aku melakukannya dengan kesadaran penuh, aku masih bertanya-tanya dalam hati buat Damita tiba-tiba mau ke rumahku. Sering mengobrol dengannya di kelas saja tidak.
Jam sepuluh lewat, Damita mengirim chat lagi dan bilang kalau dia sudah ada di depan pintu rumahku. Aku menganga, dia benar-benar tidak bohong ternyata. Kubuka pintu dan kulihat dia sudah berdiri di teras rumah, berpakaian santai dengan rambut dikuncir—sama seperti gayanya dulu waktu sekolah. Kalau dipikir-pikir sudah lama sekali aku tidak melihatnya. Kupersilakan dia duduk di kursi teras, lalu Bibi Dar membawakan nampan berisi dua gelas sirup jeruk dingin dan beberapa kue kering. Sesaat setelah kami duduk di kursi masing-masing, dia menyodorkan sebuah paper bag kecil padaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Atlas
Teen FictionUntuk Atlas: Sekeras apapun usahamu, perempuan bernama Venus itu akan selalu tampak penuh misteri di matamu. Dunianya tak lain satu planet berisi koleksi kontradiksi dan kumpulan paradoks yang saling terikat, bertumpang tindih, bercampur aduk memben...