Dua Berita Buruk

997 41 2
                                    

Berita duka itu disampaikan lewat pesan suara yang disambungkan kabel telepon dari satu kota ke kota lainnya, sambung-menyambung, dari saudara ke saudara lain, hingga ujungnya bermuara juga di telepon rumah kami. Subuh-subuh telepon kami berdering, itu Pakde Rusli, kakak kedua Ayah. Dia mengatakan kalau Nenek Fatma, adik nenekku, yang berarti adik ibunya dan adik ibu ayahku juga, baru saja ditemukan dalam keadaan meninggal dunia setelah hilang selama kurang lebih lima hari. Buru-buru kami menyusul ke lokasi, tiket pesawat dibeli cepat-cepat oleh Ayah tanpa memikirkan tugas dari kantornya yang masih menumpuk, tanggal gajian masih dua belas hari lagi, dan sebengkak apa harga dua tiket pesawat yang dibeli sangat mepet. Pukul setengah delapan pagi, pesawat kami sudah siap lepas landas.

Berita macam ini bukanlah jenis berita yang kusukai, begitu juga degan anggota keluarga kami yang lainnya. Simpang siur dan penuh spekaluasi. Pihak kepolisian mengatakan jasad Nenek Fatma yang berumur 73 tahun itu ditemukan pukul dua dini hari di sebuah jalan besar di Solo. Dua orang saksi menyatakan bahwa beliau ditabrak sebuah mobil sedan yang kemungkinan pengendaranya sedang mabuk atau sangat mengantuk, yang saat ini masih dalam pencarian siapa pengendara mobil berplat AD tersebut. Ada lagi yang mengatakan bahwa itu bukan kecelakaan yang tidak disengaja, melainkan sebuah kecelakaan yang disengaja

Percakapan di ruang keluarga rumah Nenek Fatma semakin kelam dan terasa mencekam. Pakde Rusli berpendapat demikian, menurutnya itu tak lain semacam usaha mengakhiri hidup yang mencoba untuk tidak terlalu menunjukkan bahwa ia sedang berusaha mengakhiri hidupnya. Pada awalnya, pernyataan tersebut terdengar tidak logis. Namun, satu pernyataan yang memperkuat agumentasinya adalah karena ada sebuah kejanggalan. Katanya,

"Untuk apa nenek-nenek pergi tengah malam begitu? Malah saya heran, kenapa beliau seolah-olah menghilang? Nggak ngasih kabar apa-apa."

Seluruh anggota keluargaku, kerabat-kerabat kami, dan para tetangga rumah Nenek Fatma tahu, Nenek Fatma suka bepergian mengunjungi rumah saudara-saudaranya untuk menginap barang satu-dua malam. Kadang, beliau pergi ke Surabaya dan menginap di rumah anaknya yang paling terakhir, kadang ke Pekalongan menginap di tempat anak sulungnya, kadang ke Solo untuk menginap di rumah kakak pertama Ayah, Bude Nana, kadang juga mampir ke rumahku. Dan kali ini, karena kejadiannya di Solo, kemungkinannya dia ingin menginap di rumah Bude Nana. Tapi, tidak biasanya dia tidak memberi kabar apapun.

Ayahku berdeham kemudian, "Jika benar itu merupakan suatu tindakan yang disengaja, mengapa dia melakukan itu?"

Dalam kasus ini, memang ada dua kemungkinan; pertama, niat Nenek Fatma sejak dulu mengunjungi rumah ke rumah memang murni untuk bersilaturahmi. Kejadian tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan di mana, jika ia sedang dalam perjalanan menuju rumah Bude Nana, bisa jadi ia sedang berusaha mencari jalan menuju rumahnya. Bisa jadi juga, tujuannya bukan menuju rumah Bude Nana. Satu hal yang masih menjadi pertanyaanku adalah untuk apa beliau berjalan sendirian tengah malam? Setahuku, dia tidak mengidap alzheimer atau semacamnya.

Kemungkinan kedua adalah kecelakaan tersebut memang kecelakaan yang disengaja. Asumsiku, mungkin sejak awal ia sudah merencanakan semuanya dengan sangat rapi; mengunjungi rumah-rumah keluarga untuk menginap tidak hanya sebagai pelepas rasa sepi, melainkan berperan ganda sebagai pengecoh, agar semakin lama kami menganggap kalau ia memutuskan bepergian sendiri merupakan hal yang biasa, padahal sebenarnya akan ada satu titik di mana rencananya dijalankan; pergi yang jauh, kemudian menghilang, tak berkabar. Tapi, inilah titik di mana rencana utamanya berjalan dengan sangat mulus ― dan ia akhirnya memutuskan untuk pergi dan tak kembali lagi.

Pertanyaannya, untuk apa orang lansia menewaskan dirinya sendiri?

Anak tunggal Nenek Fatma tahu bahwa selama 72 tahun beliau hidup, setengah dari usinya mulai menjadi rumah singgah yang nyaman bagi sebuah penyakit mental bernama depresi. Terapisnya menyatakan demikian ketika usianya memasuki angka 37, tepat tiga bulan setelah suaminya wafat dan ia kehilangan pekerjaannya. Pada awal usia 40, ia sempat kembali berjaya, dinikahi seorang pemuda yang kaya raya, dimodali membangun usaha kursus kerajinan tangan, dan buku-buku puisinya laku keras, ia penulis yang dibangga-banggakan semua orang. Namun, pada pertengahan usia 40, ia diceraikan suami keduanya dan sejak saat itu, ia menganggap dunianya runtuh berantakan. Meskipun tetap menulis dan penggemarnya tetap menganggap bahwa tulisannya merupakan mahakarya terbaik se-Bima Sakti, usaha kursusnya tidak terurus, dan beliau menganggap cinta sejati  hanyalah dongeng yang diromantisasi para penyair. Aku pernah membaca buku Nenek Fatma dan melihatnya dijajakan di toko buku bekas. Aku suka karyanya walaupun isinya cukup gelap dan aku juga ingin menulis tulisan sepertinya―abstrak,  rumit, sulit dianalisis, dan menggunakan cukup banyak perasaan, tapi aku tidak ingin menjadi sepertinya, apalagi berakhir sepertinya. Bagiku, menjadi perempuan kuat dan mandiri, baik dalam hal 'mampu membahagiakan diri sendiri' dan tidak bergantung pada laki-laki, orang lain—adalah pilihan terbaik dari beberapa pilihan terbaik yang telah disediakan dunia.

AtlasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang