Tepat di hari Minggu, pria berparas tampan terbaring lemah di atas kasurnya, dari kemarin kondisi tubuhnya masih belum juga stabil, padahal ia sudah dapat memeriksan kondisinya ke Dokter. Mungkin pria ini masih memikirkan gadisnya yang beberapa jam lagi akan pergi meninggalkannya.
Ervan tidak menyangka, gadis yang mulai disukainya, disayanginya akan meninggalkannya pergi. Lebih parahnya lagi, mungkin saja Dinda Maharani akan tinggal menetap di sana. Entah bagaimana perasaan Ervan Gunawan saat ini. Ia sampai jatuh sakit karena memikirkan hal itu.
Jarum jam sudah menunjuk tepat pukul setengah delapan pagi.
Ervan yang masih terbaring lemas berusaha bangun dan meraih segelas air putih yang dibawakan oleh Bik Una-pembantunya tadi pagi. Ervan meminum airnya, setelah itu ia meraih ponselnya. Ervan menatap ke layar ponselnya, di sana sudah ada notifikasi pesan dari sang pacar. Ervan pun segera mebuka pesan tersebut.
From : Dinda Maharani
"Good morning, Hon-hon? Gimana kondisinya hari ini? Sudah membaik?"
"Jangan lupa sarapan pagi, ya, supaya badannya nggak lemas."
Ervan sudah tidak kuat lagi membaca pesan yang dikirimkan oleh gadisnya. Tangan Ervan terkepal kuat, berusaha mengontrol dirinya.
Setelah 30 menit Ervan terbaring lemah, ia pun berusaha berdiri supaya nanti siang ia bisa menemui sang pacar yang terakhir kalinya. Setelah ini ia harus siap LDR-an.
Akhirnya pria itu bisa berdiri tegak walaupun badannya masih terasa lemas. Baru selangkah Ervan berjalan tiba-tiba ia terjatuh ke lantai. Saat itu juga, tepat ketika Ervan terjatuh, Qanita masuk ke dalam kamarnya membawakan semangkuk bubur ayam. Qanita yang melihat kejadian itu langsung meletakkan bubur tersebut di atas meja Ervan dan segera membantu adiknya berdiri.
"Lo kalau masih lemas jangan maksain diri! Jangan kayak anak kecil," ujar Qanita.
Ervan pun dibantu berdiri oleh Qanita. Ervan kembali duduk di atas kasurnya. Qanita pun mengambil buburnya dan memberikan pada adiknya.
"Nih, makan dulu, biar lo nggak lemas. Nanti kalau butuh apa-apa panggil Bik Una aja, gue mau bikin tugas."
Ervan mengangguk, ia pun langsung menyantap buburnya.
*****
Pagi ini tepat pukul sembilan, Divya sudah sampai di rumah Dinda. Ia berniat membantu Dinda bersiap-siap untuk pergi ke bandara nanti sore. Ia juga berniat menghabiskan waktunya dengan sahabatnya itu. Mereka masih kelas 11, mungkin saja setelah mereka tamat sekolah SMA, Dinda kembali ke Bali untuk melanjutkan kuliahnya. Karena Dinda Maharani sangat ingin melanjutkan pendidikannya di Bali, itu pun kalau Papanya menyetujuinya.
Di ruang tengah, Dinda, Divya, Kenan dan Teddy sibuk menyiapkan berkas-berkas yang akan mereka bawa ke Manado. Rumah Dinda di Bali tidak akan dijual, rumahnya akan diurus oleh pembantunya.
Setelah semuanya siap, mereka pun berbincang-bincang santai di ruang tengah seraya menikmati cemilannya.
"Tante, kira-kira kalian di Manado berapa tahun?" tanya Divya.
"Tante belum tahu Div, mungkin kita akan tinggal menetap di sana. Tapi nanti sekali-kali kita akan main ke sini lagi kok. Jadi kamu jangan khawatir. Lagian kalau kamu kangen 'kan bisa video call sama Dinda,"
Saat ini Dinda juga belum siap pergi meninggalkan sahabatnya itu, terutama ia belum siap tinggal jauh dari sang pacar.
Setelah gue pergi ke Manado, kira-kira hubungan gue sama Ervan bakalan baik-baik aja, nggak, ya? Atau malah sebaliknya? batin Dinda. Pikirannya mulai nethink.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END]
Подростковая литература"Kulkas 5 pintu? Emangnya ada? Tentu saja ada! Dia hampir membuatku gila akan ketampanannya yang paripurna. Namanya Ervan, Ya! Ervan Gunawan! Aku harap, aku bisa kenal dekat dengannya, tidak hanya dekat, aku lebih ingin... hmm, sepertinya tidak perl...