"Din, lo yakin suka sama Adik gue yang sama sekali nggak punya hati ini?"
"Yakin Kak," jawab Dinda dengan polosnya seraya menganggukkan kepalanya.
Qanita hanya bisa menggelengkan kepalanya menatap tingkah polosnya Dinda.
"Ayo masuk Din, kita ngobrol santai di dalam aja," ajak Qanita.
"Ayo Din," ajak Ervan menimpali.
Dinda mengangguk kecil, menyetujui ajakan mereka berdua dan masuk ke dalam rumahnya Ervan.
"Polos amat lo Din, hati lo terbuat dari apa sih?" tanya Qanita.
"Hm, dari apa ya Kak? Dibikin mikir sama Kak Nita,"
"Haha, gue cuman bercanda Din. Santai aja, anggap aja ini rumah lo,"
"Iya Kak."
"Kan nanti lo bakalan jadi Adik Ipar gue," ucap Qanita sambil menoleh ke arah Dinda dan Ervan secara bergantian.
"Apaan sih, nggak jelas." decak Ervan.
Qanita langsung duduk di sofa ruang tengahnya.
"Duduk dulu Din," suruh Qanita.
Setelah beberapa saat mereka bertiga mengobrol santai, Bik Una, pembantunya Ervan datang ke ruang tengah dengan membawa minum dan cemilan di tangannya.
"Lo kok bisa sih Din menciumtai Ervan?" tanya Qanita sambil meminum minuman yang barusan dibawakan oleh Bik Una.
"Hah? Mencium tai?" tanya Dinda seraya mengerutkan keningnya, bingung.
"Jijik!" jawab Ervan cepat.
"Maksud gue itu, kok lo bisa sih mencintai Ervan, Adik gue yang nggak punya hati ini dan yang nggak pantas untuk hidup," ucap Qanita dengan nada rendah seraya memakan beberapa kacang kulit.
"Bisa nggak sih Kak, lo nggah usah umpatin gue terus, gue bukan Adik lo!" ucap Ervan dengan wajah kesal.
"Nggak bisa," jawab Qanita dengan santainya seraya melemparkan kulit kacang ke arah Ervan.
Ervan menghela napas berat. "Sumpah ya ngomong sama lo bikin kepala gue serasa kebakar,"
"Bagus dong, kalau otak lo kebakar nanti lo nggak punya otak dong."
*****
Setelah beberapa jam Dinda berada di rumahnya Ervan, Dinda merasa sangat canggung karena tingkah laku kedua kakak beradik yang ada di sampingnya saat ini bagaikan permusuhan antara kucing dengan anjing. Qanita tak habis-habisnya mengumpati Ervan, sedangkan Ervan si es batu juga tak mau kalah dengan umpatan Kakaknya.
"Din, makan di sini yuk, lo lapar kan?" tanya Qanita.
Dinda menggeleng cepat. "Dinda nggak lapar, Kak."
"Nanti kita makan di luar aja Din, nggak nafsu gue makan di sini," ucap Ervan dengan senyum sinis.
"Ya udah, terserah."
Setelah lama berbincang-bincang dengan Qanita, Dinda pun ingin pulang karena sedari pulang sekolahnya tadi ia belum sempat mengerjakan tugas sekolahnya yang akan dikumpulkannya besok.
"Ervan," lirih Dinda.
"Kenapa?" tanya Ervan.
"Dinda capek, Dinda mau pulang," ucap Dinda dengan nada rendah.
"Dinda pasti capek ngelihat wajah lo yang membosankan ini sampai-sampai dia memilih untuk pulang aja, iya kan, Din?" tanya Qanita tak berdosa.
"E-enggak kok Kak, Dinda beneran capek,"

KAMU SEDANG MEMBACA
My Cold Man [END]
Teen Fiction"Kulkas 5 pintu? Emangnya ada? Tentu saja ada! Dia hampir membuatku gila akan ketampanannya yang paripurna. Namanya Ervan, Ya! Ervan Gunawan! Aku harap, aku bisa kenal dekat dengannya, tidak hanya dekat, aku lebih ingin... hmm, sepertinya tidak perl...