65. MY QUEEN

306 32 63
                                    

Hai 🧡

Absen 💗

Banyak komen = Update cepat 💌

Happy Reading ❤️

65. MY QUEEN.

"Ada banyak hal yang tak kita mau namun harus terpaksa kita terima, karena itulah cara kerja takdir."

"Tidak ada manusia yang sempurna, bahkan kupu-kupu yang terlihat sempurna pernah mengalami masa terburuknya."—Rafanizan Zavier Altezza.

Tiada yang pernah meminta hidup seperti ini. Tak ada yang mau hidup menderita, tak ada yang mau hidup bersama orang yang membuat kita hidup di dunia tapi juga membunuhnya di dunia.

Reine menutup diri malam ini, ia marah pada semesta. Langkah kakinya melangkah menuju balkon, dinginnya angin malam menyapa kulit Reine. Gadis ini sudah kacau, matanya tak baik-baik saja. Menatap langit gelap penuh kemarahan.

"Mama... Reine harus apa? Reine gak mau ketemu dia," adunya, berharap sang Mama memberikan jawaban.

"Papa jahat Ma, dia pantas mendapat itu semua. Reine benci Papa," Reine meremas dadanya.

Tangannya memukul dada berulang-ulang, berharap rasa sakit itu segera beranjak. Ia tak sanggup menahannya lagi.

"PAPA! REINE BENCI PAPA!" teriaknya tak sanggup lagi.

Perlahan Reine keluar dari kamar, menelusuri setiap ruangan di mansion. Langkah kaki berjalan masuk ke ruang kerja Wilbert. Alex yang melihat kondisi Reine sangat menghawatirkan ingin menemani. Tapi dengan cepat Kyra menahannya.

"Biarkan, biarkan otak dan hatinya bekerja. Ini sulit, Alex," ujar Kyra. Alex mengangguk paham. Mereka mengikuti setiap langkah Reine.

Mata Reine merotasi setiap detail ruangan. Matanya terhenti di foto besar yang ada di samping rak buku. Foto itu adalah foto keluarganya. Reine kecil itu tampak bahagia duduk di tengah-tengah pangkuan Wilbert dan Sekar. Tangan Reine mengusap foto itu.

"Sejak kapan foto ini ada di sini?" tanya Reine, foto ini sudah sejak lama ada di sini. Kamu saja yang tidak pernah menyadari.

Tangan Reine mengusap debu yang ada di meja kerja Wilbert, ia duduk di kursi kebanggaan Papanya. Matanya ia tutup. Kenangan saat ia kecil berputar lagi.

"Reine?" panggil pria berdarah New York itu.

"Yes dad," Reine berlari menuju Wilbert. Wilbert mengangkat Reine dalam gendongannya.

"How was your day?" tanya Wilbert di sela-sela ia mencium kening putrinya.

"As usual, Dad. Bermain sendiri, lalu makan bersama Mama, tidur siang, bermain dengan Papa, lalu tidur bersama kalian di malam hari," terang Reine kecil. Wilbert tersenyum gentir menatap putrinya.

"Kau bosan, Reine?" tanya Wilbert mendudukkan Reine di bangku taman. Wilbert berjongkok di depan gadis kecilnya.

"Tentu! Papa, Reine ingin punya teman. Reine ingin bermain bersama dengannya, Reine ingin berbagi cerita, Reine juga mau seperti anak lain yang pergi ke sekolah," ungkap Reine kecil.

Deru jantung Wilbert melemah mendengar keinginan putrinya yang tak pernah mampu ia wujudkan.

"Kamu bisa bermain dengan Papa, kamu bisa bercerita apapun dengan Papa, kamu ingin sekolah? Akan Papa buatkan sekolah di rumah, apapun untuk mu putriku."

"Papa saja sering tidak dirumah, bagaimana Reine bisa bermain dan bercerita dengan Papa?" tanya Reine kecil menatap Wilbert.

"Lihat, Papa di sini, kamu bisa bermain sekarang dengan Papa," Reine memeluk Papanya.

RAFANIZAN [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang