BAGIAN 36

31 12 0
                                    

.
.
.


"Kau sampai juga, Rose." Menghentikan langkah diantara rimbunan pohon aku menoleh kekanan dan kekiri mencari sumber suara. "Bagaimana keadaannya?" Tanyanya datar.

"Aku baik-baik saja seperti yang kaulihat, meskipun kau sempat membuatku hampir terbunuh. Terima kasih." Jawabku tidak kalah ketus.

Joshua memutar bola mata pelan, "Bukan kau, tapi Felix. Kau baru menemuinya kan?"

"Ah... tidak terlalu buruk. Seperti yang bisa diharapkan dari Oh Sehun." Aku meliriknya sebentar. "Dia merawatnya lebih baik daripada kau ataupun aku."

"Itu sudah cukup bagiku." Ucapnya sambil berjalan menjauh.

Dengan tenang aku mengikuti arah jalannya dan terus membalas ucapannya. "Tentu saja, hanya Felix yang kau pedulikan."

Dia menghentikan langkahnya. "Apa sekarang kita sedang bermain siapa yang lebih penting dan tidak penting? Kau pikir kita punya banyak waktu untuk itu?" Ucapnya tanpa berbalik.

"Mungkin. Setidaknya kita punya beberapa menit untuk memperjelas hubungan antara kau dan aku."

"Rose!"

"Kau bukan saudaraku lagi, Joshua. Aku juga sudah mengatakan itu pada Felix." Balasku cepat.

Dia berbalik sedikit. "Lalu? Untuk apa kau disini? Kau seharusnya bersama kekasihmu itu."

Kini kami saling berhadapan. Jarak kami terlampau jauh untuk bisa saling membaca ekspresi yang tercipta di wajah kami. Namun, aku yakin ekspresi wajahnya saat ini pasti sangat tidak enak dipandang. Aku mengeluarkan satu napas. "Entahlah, aku hanya berpikir, ibu pasti tidak ingin ketiga anaknya berada di kubu yang berbeda."

"Kau yakin?"

"Ya." Aku merasa begitu sesak mengatakannya. "Kau sendiri, apa alasanmu berada disini? Jangan katakan hal kolot seperti ini 'adalah takdir' atau 'untuk kedamaian' karena baik kau, aku atau mereka tidak menginginkan semua ini diselesaikan tanpa pertumpahan darah."

Joshua berbalik sambil mengatakan, "Anggap saja begitu." Joshua kembali berjalan. Mungkin dia juga menyembunyikan alasan sebenarnya seperti yang kulakukan.

"Berhenti."

Refleks, aku berhenti sesuai ucapannya. "Ada apa?"

"Ini." Joshua menyerahkan bola pengunci kekuatan terakhir padaku. "Lakukan segera."

Aku menaikkan satu alisku melihat dia menyerahkan bola itu. Aneh. "Boleh aku bertanya sesuatu?" Dia melirikku. "Apa kau akan membunuhku setelah membuka gerbang ini?" Dia mengernyitkan dahi. Aku mengendikkan bahuku. "Hanya memastikan."

Kerutan di dahinya semakin dalam. "Kau yakin mempertanyakan itu padaku?"

"Para roh bilang, aku adalah keturunan bangsawan Arven yang dianugrahi kekuatan spesial dan telah menjadi Ratu secara tidak langsung dengan mengendalikan 4 roh. Dengan bola terakhir ini aku bisa saja menguasai segalanya. Kau masih yakin memberikannya padaku?"

Hela napas Joshua terdegar berat. Dia meraih tanganku dan meletakkan bola pengunci itu. "Tentu saja."

Aku semakin menyipitkan mataku. "Joshua? Sebenarnya apa yang kau rencanakan?"

Dia sedikit mengangkat kedua tangannya dan mundur selangkah dariku. "Anggap saja memanfaatkanmu untuk membuka gerbang ini adalah separuh dari rencanaku. Aku memang sejahat itu, semua yang kau dengar ataupun kaulihat memang kulalukan untuk kepentinganku. Tapi, aku punya mimpi yang lebih besar dari sekedar menjadi penguasa bangsa Arven. Jadi, kau tidak perlu takut aku akan membunuhmu atau melengserkanmu."

ENTER; NEW WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang