BAGIAN 23

57 11 7
                                    

.
.
.


Berjalan tanpa arah selama dua hari ternyata cukup menguras tenaga. Peta yang diberikan Minhee masih belum terbaca olehku. Selama aku tidak mengalami kesulitan, kurasa peta itu belum perlu kugunakan.

Sesekali aku melatih kekuatanku dengan buku dongeng yang diambil Minhee dari kakaknya. Ternyata kebanyakan berguna dan cukup membuatku mampu bertahan di alam bebas sejauh ini.

Sembari memakan buah apel di atas pohon, aku kembali mengingat kira-kira kekuatan apa saja yang harus kucari. Bila itu kekuatan dasar, berarti ada api, air, angin, tanah dan satu lagi sebagai penyeimbang yang belum terpikirkan. Bola api sekarang berada di tangan Kim Soo Hyun dan sisanya pasti dibawa oleh orang semacam dia, seorang pemimpin atau setidaknya orang yang berpengaruh.

Di negara ini siapa kira-kira yang memiliki kekuasaan sebesar itu untuk menyimpan barang sepenting bola pengunci kekuatan?  Ada 13 sektor di negara ini. Apa aku harus mendatangi satu persatu? Itu buang-buang waktu namanya.

“Hei kau!”

Hampir saja aku jatuh dari pohon karena terkejut mendengar sebuah teriakan. Aku menundukkan kepalaku melihat kebawah. Ada seorang anak laki-laki dibawah mendongakkan kepalanya melihatku.

“Kau manusia atau hantu? Kenapa ada di atas sana?”

Masih kutatap anak kecil itu. Lalu aku melompat turun dari pohon untuk melihatnya secara jelas.

“Astaga! Kau bidadari ternyata.” Aku mengernyit. “Aku baru tahu kalau bidadari turunnya dari pohon apel, bukan langit.”

Aku kembali menggigit sisa apelku sembari berucap, “Siapa namamu?”

“Rambutmu itu asli? Bagus sekali warnanya.” Tuturnya tidak menjawab pertanyaanku. “Apa aku akan terlihat tampan kalau punya rambut seperti itu?”

Aku menggigit apelku lagi dan membuang sisanya. “Kalau kau tidak punya pekerjaan, pergilah. Jangan ganggu aku.” Ucapku sambil berjalan melewatinya.

Dia malah mengikutiku. “Aku punya pekerjaan dan kurasa kau bisa membantu pekerjaanku.” Aku masih berjalan dan tidak memedulikannya. “Kau tidak punya rumah kan? Aku punya. Bagaimana kalau kita bekerja sama?"

Aku berhenti dan berbalik menghadapnya. “Apa maumu sebenarnya?”

Dia mengedip. “Bantu aku memanen buah-buahan dari pohon dan akan kubiarkan kau tinggal di rumahku.” Dia melambai kecil memintaku mendekat. Dengan setengah berbisik dia berucap, “Kalau kau membantuku, aku tidak akan memberitahu siapapun kalau kau adalah bidadari.”

Aku tersenyum mendengarnya. Tawarannya tidak buruk juga. Aku butuh tidur di tempat yang layak daripada di bebatuan atau atas pohon. “Baiklah, tapi jangan ingkari janjimu.”

Dia tersenyum semringah dan menarik tanganku. “Kalau begitu ikut aku."


Kami berhenti di sebuah kebun buah yang luas. Kukira awalnya ini miliknya, ternyata bukan. Ini milik orang lain, dengan kata lain dia memintaku untuk membantunya mencuri.

Di balik semak-semak yang tinggi dia kembali berbisik padaku. “Kau tahu, pemilik kebun ini orangnya sangat pemalas tapi suka sekali dengan uang. Semua buruhnya di suruh merawat pohon-pohonnya dengan baik tetapi tidak pernah mendapat upah yang setimpal. Termasuk kedua orang tuaku.”

ENTER; NEW WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang