BAGIAN 1

707 44 3
                                    

.
.
.

“Cepat, geser ke sebelah sana.”

“Hei kau, cepat ambil ini!"

Brankar-brankar tambahan yang baru saja datang langsung kuarahkan ke koridor-koridor dan ruangan yang penuh akan orang-orang sekarat. Aku menghentikan langkahku tepat didepan seorang pria berlumuran darah. Dengan bantuan salah satu temanku, aku mengangkat pria itu keatas brankar yang kubawa tadi.

Tanganku dengan cepat meraih tumpukan alat pembersih di atas loyang besi setelah temanku tadi pergi untuk mengobati pasien lain. Suara rintihannya terdengar ketika  bersentuhan dengan pinggiran ranjang besi itu. Orang di depanku ini sedang meringis menahan sakit akibat luka sobek di bagian perut sebelah kanannya.

Cairan kental berwarna merah pekat yang terus keluar dari lukanya tanpa henti membuat pakaian putih yang kukenakan ternoda. Aku segera membersihkan luka itu dengan cairan antiseptik dan menjahit lukanya. Harusnya tak makan waktu banyak melihat luka sobeknya tak terlalu dalam. Orang itu berteriak kesakitan karena aku tidak menggunakan anestesi pada lukanya.

"Jangan banyak bergerak atau lukamu akan bertambah parah." Ucapku selembut mungkin.

“Rose, biar kubantu.” Ucap perawat lain yang baru saja selesai mengobati  pasien lainnya.

Perawat itu langsung memegangi tubuh orang ini agar tidak bergerak-gerak. Aku segera menyelesaikan jahitan dan menutupnya dengan kasa steril sebelum memasang plester.

“Berikan dia obat penenang. Jangan lupa pasang infusnya.”

Aku hanya mengangguk mendengar instruksi perawat yang membantuku tadi. Selesai dengannya namaku kembali dipanggil dari arah pintu. Dapat kulihat ada lagi pasien yang datang. Dengan segera kulangkahkan kaki menuju kearahnya.

Kapan berhentinya aliran korban ini? Ingin sekali menyuarakan rasa lelah, tapi semua terhenti di ujung tenggorokanku yang kering. Rasa takut dan kasihan yang muncul bercampur aduk. Membuatku ragu apakah aku harus berhenti atau tidak.

“Tempat ini tak bisa menampung lebih banyak korban lagi, perawat Park.” Ucapku ketika melihat beberapa prajurit membawa korban lagi dari arah pintu depan.

Mendengar ucapanku, perawat Park pun menatapku dengan tatapan lelah. Perawat Park menghembuskan napas pelan dan menoleh ke arah pintu.

“Siapkan alas untuk lantai, kita rawat mereka di sini.” Perintah perawat Park kepada perawat lain yang baru saja kembali membawa persediaan kapas dan kain kasa dari ruang penyimpanan.

“Kita pasti bisa Rose-ya.” Ucap perawat Park tanpa menoleh ke arahku membuatku khawatir akan keadaannya yang hampir seminggu ini tak kudapati beliau beristirahat. Bagaimana perawat Park bisa seyakin itu?

“Biar kubantu."

Aku berjalan kearah beberapa perawat yang baru datang membawa terpal. Kubantu mereka menggelarnya dikoridor dan meminta beberapa orang untuk memindahkan pasien ke atasnya. Aku dan perawat-perawat lain kembali sibuk mengobati orang yang sudah tergeletak lemas di depanku. Seperti kata perawat Park, Pasti Bisa.

Sebagai salah satu perawat ahli muda, aku cukup disegani di antara perawat yang lain. Meskipun umurku masih terbilang lebih muda dari perawat lainnya, kemampuanku dalam medis tidak bisa dibantah.

Tinggal di pelatihan sejak umur 10 tahun membuatku lebih cepat tanggap akan kondisi mendesak yang terjadi. Darah, alkohol, jarum dan suara orang yang kesakitan sudah tak asing ditelingaku.

Sebab itu, untuk luka-luka seperti luka sobek atau luka lain yang tidak perlu dioperasi aku sudah sering melakukannya sendiri tanpa didampingi dokter. Mengingat para dokter terlalu sibuk dengan banyaknya pasien yang perlu dioperasi dan hanya sedikit perawat di sini yang dilatih untuk bekerja menggunakan jarum dan benang. Rata-rata dari mereka adalah perawat baru yang diangkat karena kurangnya tenaga medis terlatih.

ENTER; NEW WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang