BAGIAN 6

156 26 0
                                    

.
.
.


Sebelah tanganku masih mengusap helaian rambut pirang Felix ketika pintu kamar terbuka secara perlahan. Bukan Kapten Ong atau si sombong Sehun yang muncul tapi pria lain yang kulihat sebelum masuk kemari. Pandangan kami sempat bertemu, sebelum aku lebih memilih memperhatikan wajah Felix dan dia berjalan menuju monitor di samping ranjang.

“Senang bisa bertemu denganmu, nona Park.” Ucapnya masih fokus ke arah monitor. Dia memosisikan tubuhnya menghadapku membuatku sedikit mendongak menatapnya.

“Namaku Hwang Min Hyun, dokter yang menangani adikmu.” Pria itu masih menatapku dengan sorot hangatnya sambil merogoh sesuatu di kantung jasnya.

Sepotong roti muncul di saku kanannya dan susu kotak dari saku yang lain. Kali ini aku mulai penasaran, apa sebenarnya fungsi kantong jas dokter diciptakan? Dia menaruh dua bawaannya di atas kasur dan kembali menatapku.

“Kurasa kau membutuhkannya.”

“Apa sebenarnya penyakit Felix?” Pertanyaanku berhasil menghentikan langkah kakinya yang menjauh dan kembali menghadap padaku.

“Aku tidak yakin kau akan mengerti.”

Aku tersenyum kecut. Apa semua orang di sini terbiasa merendahkan orang lain? “Aku seorang perawat bila kau lupa, Hwang Minhyun-ssi.”

“Bukan begitu maksudku, tapi-"

“Tapi apa?"

Hwang Minhyun menarik nafasnya singkat. “Ini mungkin sedikit rumit dari yang kau kira.”

“Jelaskan saja, kumohon.” Rautnya menunjukkan rasa terkejut tapi mulutnya masih bungkam. Tapi, selain dirinya siapa yang tahu keadaan Felix dengan baik?

“Kau kakak yang baik, Rose.” Aku balik menatapnya bingung.

“Mungkin inilah alasan Joshua tidak ingin kau berada di sini, tempat ini terlalu.. terlalu menakutkan.” Ujarnya sambil menatap ke balik punggungku, tepatnya sebuah pemandangan taman yang terlihat dari kaca jendela.

“Ditinggal di tempat asing sendirian lebih menakutkan bagiku, Minhyun-ssi.”

Dia mengembuskan nafasnya pelan, terlalu pelan. “Joshua pasti punya alasan kuat meninggalkanmu di sana sendiri.” Mendengarnya aku kembali tersenyum kecut. Tabiat seperti apa yang ditunjukkan pada semua orang sehingga dia selalu disanjung?

“Jadi, apa penyakit Felix?” Tanyaku lagi yang langsung dijawabnya dengan lugas.

“Kanker otak, stadium 3." Aku terkejut, tubuhku menegang, mataku membelalak. Sudah separah itukah penyakit anak ini?

"Tidak akan separah ini bila Felix tidak keras kepala dan melakukan operasi sejak awal.” Sebelah tanganku meremas pinggiran brankar dengan kuat, ketika mengetahui kenyataan ini.

“Sering pingsan, muntah, pandangan mengabur, sulit berkonsentrasi, kejang dan sakit kepala parah. Kuharap kau tidak terkejut ketika dia terbangun nanti. Meskipun dia tidak bisa melihat jelas wajahmu.. aku yakin dia pasti mengenalimu.” Ujarnya yang membuat tetes air mataku turun perlahan, dan tidak kusadari.

Gigiku bergemeretak ketika akan mengatakan, “Ada yang perlu kutahu lagi?” Ucapku akhirnya dengan suara yang kupaksakan.

“Joshua akan segera kemari dan jangan biarkan perutmu kosong." Ucapnya sambil tersenyum simpul, senyuman singkat dan sedikit dipaksakan. "Sampai jumpa lagi.”

Pintu biru muda itu kembali tertutup dan tangisku langsung pecah. Logika dan perasaanku mulai berperang saling menyalahkan. Tanpa tahu sang pemilik tubuh sudah sangat lelah merasakannya.

ENTER; NEW WORLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang