Siang itu Don menatap nanar pada secarik kertas di hadapannya. Selembar kertas yang akan membuat seisi rumah porak poranda. Ia tak bisa membayangkan suara teriakan, pintu yang dibanting dan raungan malaikat kecilnya saat ia memperlihatkan selembar kertas itu padanya.
Sebuah jadwal perjalanan bisnis ke luar negeri.
Don mengusak kepalanya, ia berharap Lody akan baik-baik saja. Ia tak ingin merutuki siapapun, perjalanan bisnis memang harus ia lakukan sendiri jika ia ingin perusahaannya tetap bertahan.
"Jadwal ini hanya kurang dua hari dari ulang tahunnya...dan kau tau, jadwal ini bisa berjalan lebih lambat Maria..." Don menunjuk selembar kertas itu dengan emosi.
"Apa Nona tidak bisa menyusul Tuan ke Spanyol saja? Akan ku urus semuanya..." ucap Maria.
"Kau ingin dia menjerit-jerit di dalam pesawat? Dia tidak bisa terbang tanpa aku..."
Kedua orang itu saling diam, tak tahu apa yang harus diperbuat. Lody bukanlah perempuan yang mudah untuk diajak berkonsolidasi, ia akan membanting semuanya Don yakin itu.
"Akan coba ku bicarakan dengannya, jika gagal kau siapkan hotel setelah aku pulang nanti. Aku tahu, aku pasti di usir" ucap Don sambil terkekeh meskipun dalam hati tak tenang.
Kau bayangkan saja berhari-hari tanpa menyentuh tubuh Lody, suatu hal yang berat untuk Don. Biasanya akan tampak baik-baik saja dan pada hari ketiga ia akan mulai stres lalu menyalahkan apa saja yang ada di hadapannya.
.
.
.
.
.
"Dimana Lody?" ucap Don saat memasuki rumah, menyerahkan tas kerjanya pada Bibi Lee dan bergegas menaiki tangga.
"Tidak di kamar Tuan, sedang di halaman belakang...Nona bilang sedang mengerjakan sesuatu..."
Don berhenti, berbalik lalu berjalan menuju halaman belakang. Malaikat kecilnya di sana, dengan kemeja berwarna merah jambu, memakai celana pendek berwarna coklat dan tentu saja sepasang kaus kaki berenda di kakinya.
Lody sedang melukis, ia terlihat sangat serius. Rambutnya yang diikat dua menari lembut tertiup angin. Sesekali ia tampak mengintip di balik kanvas lalu kembali menggoreskan kuasnya.
Don menghampirinya dari belakang, berhenti sebentar untuk mengamatinya dan mengamati apa yang perempuan kecil itu gambar.
Pemandangan dengan pohon-pohon pinus hijau, awan dan langit yang cerah kemudian ada sebuah ayunan di sana. Di ayunan itu ada seorang pria dan wanita duduk bersebelahan. Don tersenyum, Lody sedang mencetak memori saat pertama kali mereka berbicara empat mata tentang kehidupan ranjang Don.
Don berdeham yang kemudian membuat perempuan kesayangannya berjingkat, berdiri dan memeluknya erat. Don memeluknya dengan erat, mengendus bahu dan leher Lody, menghadiahi banyak kecupan di bibirnya.
Mereka duduk berdua di atas ayunan, ayunan itu bergerak pelan. Don mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk membuka suara tentang perjalanan bisnisnya.
"Nggg...aku akan pergi minggu depan" ucap Don.
"Kemana? Jauh apa dekat?" ucap Lody yang menepuk-nepuk pahanya pelan.
"Spain..." Don mencoba mengucapkannya dengan sangat pelan.
Lody hanya melihatnya, tak mengucapkan sepatah kata pun. Bibirnya dikatupkan begitu rapat, kepalanya menunduk dalam. Ia tahu perjalanan bisnis ke Eropa pasti sangat lama, ia sudah pernah mengalaminya dan ia membenci itu.
"Tak sampai hari ulangtahunku kan? Daddy sudah janji akan mengajakku ke kebun binatang..."
Don mencoba menenangkan hatinya yang berat. Mengunjungi kebun binatang di musim semi adalah waktu terbaik dan dia sedang berusaha merusaknya.
"Sesuai jadwal tidak...ditulis sebelum hari ulangtahunmu aku sudah di rumah"
Lody hanya tersenyum pahit. Ia tahu benar jadwal hanya jadwal saja, nyatanya Don akan di sana jauh lebih lama. Ia bahkan pernah tak bertemu Don satu bulan karena perjalanan bisnis, di jadwal hanya tertera dua minggu. Tidak, Don tidak bermain wanita lain...ia benar hanya bekerja.
Lody beranjak dari tempat duduknya. Berjalan gontai menuju rumah diekori oleh Don yang ingin sekali menjebloskan dirinya sendiri ke penjara saat itu juga karena membuat Lody sedih.
"Bibi...nanti aku akan makan di kamar, antarkan ya..." ucap Lody pada Bibi Lee yang ia temui di dapur.
Lody mengambil beberapa snack, minuman ringan, beberapa buah dan susu kotak rasa vanila kegemarannya.
"Jangan ganggu aku hm? Jangan masuk, jangan mengetuk. Berangkat saja dan jangan berpamitan padaku...aku juga tidak akan mengantar Daddy ke airport" suara Lody begitu parau, ia menahan tangisnya.
Don yang mendengarnya hanya terdiam. Melihat Lody dari belakang yang menaiki anak tangga dengan lemas dan tak lama suara pintu ditutup pun terdengar.
"Ku harap perjalanan bisnis itu selesai pada waktunya, Nona tidak akan mengamuk seperti dulu tetapi Tuan...ya Tuan tahu apa yang saya maksud." ucap Bibi Lee pada Don yang frustasi.
"Beri Lody vitamin atau apa saja yang membuat moodnya membaik...aku akan ke kamar." ucap Don pada Bibi Lee yang mulai memasak.
Bibi Lee mengangguk, sementara Don berjalan tak kalah lemasnya menuju kamar pribadinya. Pikirannya melayang, tak tenang. Ia ingin masuk ke kamar perempuan itu lalu mendekapnya, menciumnya, mengikatnya dan membuatnya berteriak kencang karena orgasme yang meledak.
Don membaringkan tubuhnya di ranjang, memeriksa ponselnya dan nomornya telah diblokir oleh perempuan kecil itu. Don mengusak wajahnya frustasi, menutup matanya dengan bantal dan akhirnya jatuh tertidur.
Hari-hari menjelang keberangkatan sangat berat. Don tak pernah bertemu dengan Lody, perempuan itu selalu pergi pagi-pagi lalu pulang dan langsung masuk ke kamar yang setelahnya tak keluar lagi sampai esok hari.
Pada hari keberangkatan pun Lody memilih pergi mengambil kelas tambahan hingga ia tak pulang ke rumah hingga malam hari. Don pergi ke airport bersama Maria, ia hanya berpesan pada Bibi Lee bahwa apapun yang Lody inginkan untuk diizinkan.
.
.
.
.
.
Lody menatap pintu kamar Don dari depan pintunya, biasanya ia akan berlari ke dalam, mencari snack yang sengaja disembunyikan oleh Don dan tak jarang berakhir dengan permainan di ranjang. Tapi hari itu Don telah berangkat, ia menggigit bibirnya dalam-dalam hingga rasa asin muncul akibat terluka.
Ia kembali memasuki kamarnya, menggulung dirinya di atas ranjang dan menangis dengan kencang. Ia rindu tetapi jadwal perjalanan bisnis itu benar-benar membuatnya sakit hati.
"Apa kita perlu menelepon Tuan?" ucap Paman Song yang berdiri di tengah tangga bersama Bibi Lee.
"Biarkan saja dulu, beberapa hari lagi ia akan baik-baik saja. Biar aku yang mengurusnya..." jawab Bibi Song sambil berlalu.
Bibi Song membuka pelan pintu kamar bercat putih dengan hiasan pita berwarna merah bermotif bunga krisan itu. Suara tangisan Lody pecah saat melihat Bibi Song merentangkan kedua tangannya, Lody berlari kearahnya dan menangis sejadinya di bahu perempuan paruh baya itu.
"Aku ingin Daddy pulang..." cicit Lody.
Bibi Song membelai rambutnya pelan.
"Kita buat sesuatu saat Daddy pulang, kita buat kejutan... bagaimana?" ucap Bibi Lee.
Lody menarik tubuhnya, mengusap air matanya dan mengangguk setuju.
.
.
.
.
.
"Maria, apa kau tahu cara membuka nomor yang diblokir?"
"Jangan membuat pertemuan-pertemuan yang mendadak, jangan menunda, jangan terlalu banyak basa-basi. Aku jamin kita akan pulang tepat waktu..." jawab Maria yang kemudian memejamkan matanya.