Kepulan asap cerutu membumbung tinggi di beranda hari itu, meja berukir kepala harimau itu diapit dua orang yang sangat dihormati di kota itu bahkan nama keduanya akan membuat orang lain bergetar hanya dengan mendengar namanya.
Hujan turun dengan rintik yang cukup lebat, membasahi rerumputan dan payung berwarna hijau muda milik Nona muda di rumah besar ini.
"Biasanya dia akan bersepeda jika hujan turun, kini lihatlah dia terbaring seperti itu di kamar..." ucap sang Ayah.
Don terdiam. Dirinya baru saja melihat kondisi Lody sebelum ia menyusul sang Ayah di beranda, kondisinya buruk dan ia tak yakin Lody akan baik-baik saja setelah bangun dari tidurnya nanti. Seluruh tubuhnya terluka, bahkan hingga bagian tubuh yang ia pikir tak akan pernah dijamah oleh orang lain pun mengalami luka.
"Mati?"
"Belum hanya pingsan, Brian dan Sam mencabut pelurunya..." cicit Don.
"Biar aku dan Rion yang bereskan"
"Ayah tanpa Rion..." tawar Don.
Sang Ayah membuang mukanya, mengamati rintik hujan yang jatuh mengenai lantai kayu dan meresap perlahan.
"Rion tak lagi mengerjakan hal itu Ayah, Lody tak akan suka jika hewan peliharaannya makan daging manusia lagi..." tutur Don.
"Jadi sebutkan apa yang harus aku lakukan sebagai Ayah dari Lody jika aku menyaksikan puteri kecilku diperlakukan seperti itu?"
Don lagi-lagi memilih diam. Melawan sang Ayah adalah sebuah tindakan bodoh. Ia mungkin bisa menentang apapun kecuali keinginan sang Ayah untuk Lody.
"Aku tak memintamu melakukan apapun, cukup jaga dia dengan benar dan lakukan semampu mu...tapi lihat hari ini? Kau ikut andil dalam kasus ini, kau membiarkannya sendiri tanpa pengawalan bahkan tanpa pengawasan" terang sang Ayah.
"Pulanglah, jangan temui Lody sampai kasus ini aku bereskan...tidak ada bantahan Don, kemasi barangmu dan pulang ke rumah." ucap sang Ayah yang setelahnya menghisap cerutunya.
Bertahun lalu janji itu dibuat, sebuah janji ketika Don dianggap tak lagi sanggup melindungi Lody maka sang Ayah akan mengambil alih semuanya dan ia tak akan bisa bertemu dengan Lody hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Seluruh dunia Don terasa berhenti saat itu juga, tubuhnya melemas dan kepalanya terasa kosong tanpa ada isi yang biasanya bisa ia andalkan. Lidahnya terasa kelu, ingin ia membantah sang Ayah menjelaskan semua duduk perkara yang ada tetapi ia tahu itu akan percuma.
"Lakukan dengan cepat, aku tidak ingin Lody melihatmu pergi" ucap sang Ayah yang kemudian beranjak pergi meninggalkan sang anak yang tertunduk lesu penuh dengan penyesalan.
Iya, Ayahnya telah memperingatkannya berkali-kali tentang lenggangnya pengawalan dan pengawasan Lody saat ia berada di luar rumah. Lelaki itu membiarkan malaikat kecilnya pergi ke tempat kursus tanpa pengawasan, terkadang melepasnya begitu saja untuk ke museum atau ke pusat keramaian lainnya.
Lelaki bertubuh tegap itu beranjak dari tempat duduknya, mendorong kakinya melangkah menuju kamar tidurnya. Ia mengemasi apa yang sekiranya ia butuhkan, membawa apa yang ia perlukan.
"Tuan tidak perlu khawatir, Nona akan baik-baik saja..." ucap Gisela lirih.
"Pergilah hm? Ayahmu tak akan suka jika dibantah, semua akan bertambah sulit jika kau tidak menurutinya..." imbuh Bibi Lee sembari menepuk lembut punggung Don.
Don hanya mengangguk, mengusap telapak tangan Lody yang dingin, mengecup keningnya dengan hati-hati lalu dengan cepat ia membalikan badan dan pergi meninggalkan ruangan itu.
"Jangan khawatir Tuan..." ucap Paman Song sembari membawakan koper milik Don.
Don mengangguk dan dengan cepat menuruni anak tangga rumahnya, pintu utama yang terbuka lebar kini diisi begitu orang berpakaian serba hitam. Orang-orang Ayahnya telah berkumpul di rumahnya, memastikan Lody bisa istirahat dengan tenang tanpa ada gangguan sedikitpun.
"Tuan muda..."
Belasan orang menunduk dan membungkukan badan padanya saat ia melewati kumpulan manusia di pelataran rumahnya. Sapaan yang hanya dibalas dengan deham seadanya membuat sang Ayah membalikan badan.
"Hati-hati..." ucap sang Ayah.
Don tidak menjawab, ia terus mencoba mendorong tubuhnya untuk bergerak membuka pintu mobilnya, mendudukkan tubuhnya yang limbung dan memberi kode pada sopir untuk segera berangkat.
Mobil hitam itu meninggalkan pelataran rumah, meninggalkan sekumpulan penjaga yang kini memenuhi rumahnya. Mobil itu menyusuri jalanan yang basah karena sisa hujan, sesekali ia bertemu dengan orang-orang yang sama sedang memeriksa semua titik kamera tersembunyi yang ia pasang.
Don memejamkan matanya, mencoba mengembalikan kesadarannya dengan penuh. Satu teriakan keras memenuhi ruang sempit dalam mobilnya yang kemudian disusul dengan pekik tangisan yang panjang. Seluruh tubuhnya terasa sangat sakit, dadanya terasa sesak akibat jantungnya seperti sedang diremas begitu kencang.
"Bawa aku ke perkebunan" ucap Don singkat setelah menit-menit menyesakkan itu berhasil ia lalui.
Sang pengemudi mobil hitam itu mengangguk dan segera membawa sang tuan menuju tempat yang ia inginkan.
.
.
.
.
.
"Tuan, bagaimana dengan pemuda itu?" ucap seorang penjaga kepercayaan Ayah Don.
"Santai saja, Don akan membereskannya...percuma jika kita bergerak, mungkin besok kita sudah menemukan mayat. Kita fokus saja pada Lody dan awasi semua dokter yang keluar masuk tempat ini..."
"Baik Tuan."
"Gisela dan Bibi buatkan makanan untuk Lody, aku tahu dia akan minta makan begitu ia sadar nanti..."
"Baik Tuan..." ucap keduanya lirih yang kemudian keluar dari dalam ruangan Lody.
Lelaki berambut abu itu memandangi sekitar kamar Lody. Memandang beberapa gambar berbingkai kayu berwarna hitam di atas meja belajarnya.
"Kau masih menyimpannya..."
Sebuah foto yang dicetak cukup besar dari yang lainnya, seorang lelaki sedang memegangi sepeda dengan baju yang basah kuyup serta seorang perempuan kecil yang mencoba menyeimbangkan tubuhnya. Di bawah foto itu dibubuhi sebuah kalimat,
'Ayah paling hebat! Bersepeda dengannya sangat menyenangkan!'
Sang Ayah tersenyum, ia menemukan fotonya kedua saat dirinya berulangtahun. Lody saat itu begitu kecil, menggunakan baju berwarna kuning pastel dengan pita merah menghiasi kepalanya yang mungil.
Pandangan sang Ayah sekelebat menjadi kabur. Ia menggenggam tangan sang putri dengan lembut, memastikan tangannya yang besar tak akan menyakiti tubuh lemahnya.
Dalam ruang sepi itu isak sang Ayah keluar, mengiring segala penyesalan paling dalam. Ia bisa menahan diri ketika Don disakiti atau mendapatkan ancaman dari pihak manapun saat Don masih kecil, tetapi tidak dengan Lody.
Isak itu semakin dalam ketika sang Ayah menyadari betapa luka hari ini tidak akan bisa disembuhkan begitu saja, menyadari bahwa Lody masih begitu mencintainya meskipun mereka tak bisa sering bertemu.
Hujan di luar bertambah deras, langit menjadi seluruhnya menghitam dan udara lembab memenuhi seluruh ruangan.
"Kita akan pergi ke pusat bermain jika kau sudah sembuh nanti hm?" ucap sang Ayah yang setelahnya mengecup kepala Lody.