⚠️Part ini mengandung penggambaran adegan kekerasan, mohon bijak saat membaca. Terimakasih!
Don memeluk tubuh Lody perlahan, mengusap punggungnya dengan lembut. Ia paham perempuan kecil itu ketakutan, pipinya yang bersemu merah hilang dari pandangan Don digantikan dengan tatapan mata yang ketakutan meskipun ia menutupinya dengan senyuman.
"Tidak akan terjadi apa-apa, kau sudah pernah melewati hal seperti ini..." bisik Don.
Lody hanya mengangguk, ia melepas alas kakinya menyisakan sepasang kaki dengan kaus kaki berwarna putih berenda, kedua kaki itu kemudian menaiki punggung telapak kaki Don dan kedua tangannya memeluk Don erat.
"Aku takut, aku takut keluar dari kamarku..." cicit Lody.
Don hanya tersenyum sembari mengecup puncak kepala milik Lody. Don merapatkan pelukannya, mengangkat dagu Lody dan menenangkan perempuan kecil itu dengan ciuman panjang di bibirnya.
"Aku akan bereskan masalah ini secepat yang aku bisa, sebentar lagi aku akan pergi bertemu dengan Sam dan Brian..."
"Aku tidak ingin keluar kamar sebelum Daddy datang..." putus Lody.
"Lakukan apa yang menurutmu baik, aku akan minta Bibi Lee mengantar apapun yang kau inginkan kemari..." ucap Don.
Pelukan itu berakhir saat ponsel Don berdering kembali, ia harus segera pergi. Ia mengecup puncak kepala perempuan itu dan pergi meninggalkannya.
Don memandang pada jendela kaca berukuran besar, jendela di kamar Lody. Perempuan itu menyembulkan kepalanya dan melambaikan tangan mungilnya, Don tersenyum dan memasuki mobilnya.
Amarah Don ia lampiaskan pada deru mesin mobil yang ia pacu dengan kencang sejak mobil itu masih di balik gerbang. Siapa dan apapun tidak berhak mengusik hidupnya terlebih kehidupan malaikat kecilnya.
..
.
.
.
Don memacu mobil hitamnya melewati hutan-hutan kecil menuju sebuah tempat milik Brian. Sebuah gudang pengolahan wine, Brian telah membeli banyak tanah di daerah itu, membangun sendiri jalan menuju perkebunan dan gudang pengolahan. Don membuka jendela mobilnya, sekedar menenangkan dirinya sebelum 'pertandingan' berlangsung. Don telah melewati jalanan aspal yang saat ini berganti menjadi sebuah jalan tanah yang hanya cukup dilalui dua mobil bersampingan. Jalanan itu tertutup oleh rimbun pepohonan sehingga seseorang yang belum pernah melewati jalanan ini tidak akan melihat jalanan menuju perkebunan.
Sebuah mobil van berwarna putih dengan goresan di kanan kirinya terparkir sembarangan di depan pintu gudang hingga Don harus menekan klaksonnya untuk menyingkirkan mobil itu. Beberapa orang tergopoh berusaha cepatnya menyingkirkan mobil van tersebut.
Don membuka jendela mobilnya melambaikan tangannya di udara lalu melanjutkan perjalanannya.
"Tikus kecil itu pasti diseret kemari..." cicit Don.
Don memasuki sebuah gudang berukuran sangat luas, gudang itu biasanya digunakan untuk mensortir anggur-anggur dengan kualitas baik dan buruk. Derap langkahnya menapaki lantai gundang itu, tepat di tengah ruangan besar itu Brian dan Sam berdiri berkacak pinggang. Seorang pria mungkin masih seumuran dengan Don tampak duduk tertunduk di sebuah kursi kayu usang, wajahnya berlumur darah segar, kedua tangannya terborgol ke belakang.
"Hanya ini?" tanya Don saat berada di depan pria itu.
Terdengar suara erangan dari mulut pria itu, hantaman Don untuk yang pertama kali berhasil menumbangkannya dalam satu kali hantaman. Don mencengkram kerah baju pria itu, membantunya kembali duduk. Sam memberi kursi pada Don, percakapan hangat pun dimulai.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanya Don.
"Tidak ada, tidak ada yang menyuruhku Tuan..."
Sebuah hantaman tepat di rahang pria itu membuat tubuhnya jatuh kembali. Don meraih kunci borgol dari tangan Sam lalu membuka kaitan borgol pada pria tersebut.
"Jangan pernah menyentuh kehidupanku lagi... menyentuh malaikatku..." suara Don mendesis tepat pada telinga pria itu, kalimat itu ditutup dengan senyuman.
Hantaman demi hantaman, tendangan bahkan pukulan dari tongkat baseball menghantam tubuh pria itu. Tawa Don terdengar selang seling dengan erangan pria yang sekarang menjadi karung tinju milik Don.
Don mengangkat kerah pria itu, memborgolnya kembali dan dikaitkan pada sebuah besi panjang.
"Kau ingin tahu bagaimana aku bermain dengan perempuanku? Akan aku tunjukan padamu..."
Don resmi menjadikan pria itu samsak hidup untuknya. Don tidak peduli pria itu sudah babak belur dihadapannya, muntahan darah bercampur keringan mengotori kemejanya.
"Kau pulang saja, biar Don aku yang urus...akan kukirimkan wine ke kantor, kau harus habiskan bersama Maria" ucap Brian sambil menyenggol lengan Sam.
"Aku juga tidak mungkin membawa harimau kelaparan, tentang Maria...sudahlah" balas Sam tertawa sambil berlalu pergi dari gudang.
Tinggal Brian sendiri, duduk menyulut rokoknya yang tinggal satu batang sembari menonton Don menghantam pria di pojokan itu bertubi-tubi. Terkadang dengan kaki, dengan tangan kosong tak jarang dengan tongkat baseball. Sesaat Brian sudah tidak mendengar suara erangan dari pria itu, entah apa yang terjadi.
"Jangan sampai mati!!!" teriak Brian.
Don tak menggubris teriak Brian, ia hanya tahu mangsanya harus hancur di hadapannya saat itu. Tidak ada yang boleh selamat setelah berani mengusik hidupnya. Pergulatan itu berakhir dengan ludah Don yang mendarat tepat di wajah pria yang tak sadarkan diri itu.
"Aku pergi...kirimkan berapa kerugianmu." ucap Don sembari mengembalikan sapu tangan yang diberikan oleh Brian.
"Aih aih...santai saja, anak buahku akan membereskannya. Aku juga sudah lama tidak bermain-main..." balas Brian terkekeh.
"Kirimkan wine terbaikmu padaku, Lody sudah lama tidak minum..."
"Tentu..." ucap Brian yang setelahnya melepas kepergian Don dari gudangnya.
..
.
.
.
Don kembali memacu kendaraannya, hari sudah mulai gelap. Matahari di barat bahkan sudah tidak terlihat, ia meraih ponselnya mencoba menghubungi Lody. Ia mendengar beberapa kali nada tunggu itu berbunyi hingga suara malaikatnya muncul di telinganya.
"Daddy...maafkan aku, aku baru saja kembali dari kamar mandi..."
"Ehm, aku akan pulang sebentar lagi...bisa kau pesan ayam dan cola? Aku lelah..." ujar Don.
"Tentu aku akan pesankan... hati-hati saat menyetir sepertinya akan hujan" jawab Lody.
Don hanya berdeham dan menutup sambungan telepon itu. Sesaat sebelum sampai di rumah ia mampir ke kantornya untuk mandi dan berganti pakaian, sangat tidak mungkin ia pulang dengan kemeja penuh cipratan darah, Lody akan pingsan jika melihatnya.
Lody beranjak dari tempat tidurnya saat ia mendengar suara gerbang di buka, mobil hitam itu memasuki pelataran rumah. Don telah datang!
Ia berlari menuruni anak tangga tanpa alas kaki, memakai blouse berwarna cokelat susu dan bando putih polos. Ia berlari menuju pintu rumah dan membukanya."Daddy!" ia memekik.
Kedua lengan mungil itu kini melilit di pinggang Don, terasa hangat. Don memeluknya, mengecup puncak kepala Lody dan mengangkat tubuhnya.
"Turun..." ucap Lody saat Don menggendongnya.
Don hanya menggeleng, mengecup bibir mungil itu sekilas dan berjalan melewati ruang tengah dan anak tangga.
"Aku akan tidur di kamarmu...aku ingin menonton kartun malam ini..." ujar Don sambil tersenyum.
Lody hanya mengangguk dan tersenyum.