13

36.9K 646 4
                                    

Don mengusak rambutnya yang dibasahinya di toilet. Ia sempat mencuci wajahnya tadi di dalam pesawat. Don juga mengganti pakaiannya dengan yang baru, perjalanan panjang dari Spayol menuju negaranya membuatnya harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Lody.

"Kau akan naik taksi? Sam bisa menjemputmu" ucap Don pada Maria yang berdiri mematung karena kelelahan.

"Aku akan pesan taksi nanti. Ku mohon jangan menghubungiku selama tiga hari ke depan, aku akan tidur"

Don hanya tertawa, seperti apapun Maria ketus padanya ia akan tetap jadi sekretaris terbaiknya. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di sebuah cafe untuk minum kopi dan mungkin menikmati beberapa kudapan.

.

.

.

.

.

"Saya pikir Nona lebih baik di dalam saja, biar Paman Song yang menjemput ke dalam..."

Lody menekuk wajahnya masam. Ia menyesal terlalu terburu-buru berangkat hingga lupa mengenakan kaus kakinya dan Don tidak akan suka dengan hal itu.

"Apa di mobil tidak ada cadangan?"

"Tidak ada, semua sudah dikeluarkan untuk dibersihkan..." ucap Paman Song.

"Daddy mungkin tidak akan marah, tidak apa-apa kalaupun marah...aku memang salah" cicit Lody.

Paman Song dan Bibi Lee pun menghela nafas, berapa kali pun Lody dicegah ia akan tetap pergi. Kedatangan Don memang meleset dari perkiraan, bahkan hari ulang tahunnya sudah lewat hampir seminggu tetapi pria itu baru pulang hari ini. Ia tidak mau menunggu di dalam mobil, ia ingin segera memeluknya, mencium aroma tubuhnya dan menangis jika perlu.

Lody berdiri di bagian kedatangan, ia berjinjit terkadang melompat untuk melihat apa Don sudah datang. Beberapa menit lalu Don memberi ya kabar bahwa ia akan segera keluar. Hari ini Lody memakai celana pendek selutut berwarna kopi susu, memakai kemeja flanel bermotif kotak-kotak dengan rambut dikuncir ekor kuda. Perempuan itu seperti bola kecil yang memantul dari lantai ke udara, begitu menggemaskan.

Ia mencoba merangsek ke barisan depan meskipun harus bersusah payah. Pulang di akhir pekan memang menyebalkan terminal kedatangan akan dipenuhi agen-agen perjalanan yang menjemput para turis untuk berlibur.

Lody melihat seorang pria melambaikan tangannya ke udara. Pria itu tingginya hampir 180cm, kulitnya putih bersih, rambutnya ditata rapi meski tanpa pomade. Menyeret sebuah koper besar yang dihiasi dengan banyak tas kertas berlogo merk-merk mahal. Pria itu tersenyum memamerkan giginya yang bersih, sesekali tertawa melihat kelinci kecilnya melompat memanggil namanya meminta untuk segera dipeluk.

"Kau rindu padaku?" bisik Don yang memeluk erat tubuh perempuannya.

Lody tidak bisa bicara ia hanya memeluk Don seerat mungkin, sekuat yang ia bisa. Don yang memposisikan dirinya setara dengan tinggi Lody mengusap kedua lengan perempuan itu, memeluknya dan menghujani bahu perempuan kecilnya dengan kecupan.

Don mengangkat tubuh perempuan kecil itu, menyangga tubuhnya dan mendekap perempuan itu erat. Sementara Bibi Lee menyelimuti punggung Lody dengan kain hangat karena saat itu udara cukup dingin meskipun musim sudah berganti.

Lody mengeratkan pelukannya pada leher Don, menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher sang lekaki dan menghirup aroma tubuh Don dalam-dalam. Ia tak ingin turun dari gendongan, ia ingin memeluknya sampai esok hari.

Don tak banyak bicara, hanya sesekali menanyakan keadaan rumah pada Bibi Lee dan Paman Song. Ia mengusap punggung Lody mengecup puncak kepalanya beberapa kali hingga sang perempuan tertidur nyenyak. Ia tahu bahwa Lody pasti tidak tidur semalaman karena terlalu tidak sabar hingga waktunya tiba.

"Biar aku bawa ke kamar, dia pasti kelelahan. Bibi siapkan makan malam saja ya..." ucap Don setelah sampai di rumah.

Bibi Lee mengangguk dan merapikan kembali selimut yang ia kenakan pada Lody, menyibakan rambut perempuan itu agar tidak merasa gerah. Don membawa Lody naik ke kamarnya, membaringkannya di tempat tidur dan mengamati perempuan kecil itu lekat.

"Apa saja yang kau lakukan selama aku pergi? Hm? Apa kau tahu aku mematikan cctv di kamarmu agar kau bebas melakukan apapun?" ucap Don lirih.

"Kau hanya memelukku tanpa bicara apapun, apa kau marah padaku?"

"Kita akan pergi kemanapun kau mau besok lusa, kita beli apapun yang kau mau. Apa kau tahu aku merindukanmu? Apa kau suka menangis tiap malam?" imbuh Don.

Don melepas sepatu milik Lody, Don tahu ia pergi tanpa kaus kaki tetapi kali ini ia tak ingin melakukan apapun. Don menghela nafasnya lalu membaringkan dirinya di sebelah perempuan kecilnya, jemari tangannya mengusap dahi dan membelai rambut milik Lody.

"Daddy... Daddy..." cicit Lody yang tertidur.

Ia mengigau memanggil Don dan jemarinya bergerak-gerak mencoba menemukan Don di dekatnya. Don yang sudah memejamkan matanya kembali tersadar, ia menggapai jemari Lody yang mencarinya. Jemari-jemari mungil itu ia kecup lalu menarik tubuh Lody dalam pelukannya.

"Sshh...aku di sini..." bisik Don perlahan.

Jemari-jemari kecil itu kini menggenggam erat kemeja Don seakan ingin berkata bahwa ia tak ingin ditinggal lagi terlalu lama. Don memeluk Lody dengan erat, menyembunyikan tubuh mungil itu di dalam pelukannya dan menepuk pelan punggungnya.

"Jangan kemana-mana lagi..." Lody bercicit.

Don merasakan sesak dalam dadanya, Lody bukan lagi diusia yang bisa ia kelabui lagi. Lody semakin besar ia mulai bisa menuntut, ia mulai merasa kehilangan dan sedih jika Don tak berada di dekatnya. Begitu juga dengan Don, ia mulai merasa khawatir dengan Lody jika pergi terlalu lama, ia bahkan merasa cemburu saat Lody mengirimkan foto bersama teman-teman kursusnya dan ada seorang anak laki-laki berdiri di dekatnya. Ia tak suka.

Don menyambar ponsel yang ia letakkan di nakas sebelum berdering, ponsel itu akan menyala sebelum suara dering muncul. Ia mengangkat telepon itu cepat-cepat.

"Apa lagi?" ucapnya sambil berbisik.

"Sebelum aku tidur, apa aku tidak perlu memesanakanmu kamar hotel? Tidak jadi diusir?" tanya Maria sambil terkekeh.

"Ku sumpahi kau ya!" ucap Don yang kemudian disusul dengan menutup teleponnya.


Our SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang