Lody menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi bus, matanya terasa berat dan perutnya terasa mual akibat bangun tergesa untuk mengantarkan Lucia ke bandara pagi ini. Resmi ia tak pulang ke negaranya lagi, untuk kesekian kalinya. Ia mengetuk-ngetuk kaca bus kota itu dengan perlahan, menyaksikan beberapa sisi jalan raya tertutup salju.
Jika ia dididik untuk menjadi pembangkang ia mungkin melompat dari bus ini, kembali ke bandara lalu terbang pulang bersama dengan Lucia dan menemui laki-laki pujaan hatinya tetapi nyatanya ia berakhir dengan duduk sendirian dengan perut mual karena suhu dingin.
Ia melangkahkan kakinya keluar dari bus kota, berjalan beberapa belas meter dan berbelok ke sebuah kedai kopi. Ia berniat membeli segelas cokelat panas dan beberapa roti lapis daging untuk mengisi perutnya. Ia biasanya menghabiskan waktu paginya di sana bersama Lucia, terkadang mereka pergi tanpa mandi.
"Hai sweetheart, seperti biasa?" tanya Jim seorang penjaga kedai.
"Tentu, tolong masukan dua potong marshmellow ke dalam cokelat panasku..." ujar Lody yang diakhir dengan senyuman.
"Dimana dia?"
"Pulang...libur akhir tahun" ucap Lody sembari mengetik beberapa pesan pada Lucia.
"Aah...kalau kau bosan, kau bisa menghubungiku dan kita bisa ke perpustakaan lagi seperti biasa" jawab Jim sembari tertawa.
Lody membalasnya dengan tawa renyahnya, mengucapkan terimakasih setelah melakukan pembayaran atas pesanannya. Lody menatap ruangan dengan lampu-lampu temaram dan menemukan kursi kosong di sudut dekat jendela.
Ia meletakan nampan berisi roti lapis dan cokelat panas dengan dua buah marshmellow di atasnya dengan pelan, melepas mantel panjangnya dan meletakkannya di kursi sebelah. Ingin rasanya ia menghilang dari jangkauan sang Ayah tetapi rasa balas budi dan sayangnya tidak mengizinkannya untuk berbuat demikian.
Lody menikmati kudapan paginya perlahan sembari membuka beberapa sosial media yang ia unduh di ponselnya. Lody tertawa saat ia melihat video bagaimana seekor monyet dan pengunjung kebun binatang saling berebut pisang, menyaksikan potongan kartun favoritnya yang berhasil membuatnya menahan tawa kerasnya karena ia tahu ia berada di sebuah kedai. Sesekali alisnya menyatu karena membaca berita tentang rasisme yang merebak di beberapa daerah.
"Ini membuatku kesal..." cicitnya sembari membenahi rambutnya yang jatuh karena ia menunduk dalam waktu yang cukup lama.
Matanya membeku, seluruh oksigen dalam tubuhnya terasa habis dan seluruh tubuhnya terasa dingin. Mata kecilnya menangkap seorang laki-laki dengan mantel panjang berwarna hitam, dengan kacamata menggantung di tulang hidungnya yang tinggi dan aroma pinus menguar meski hanya sebentar.
Lody menggerakkan kakinya, mengangkat tubuhnya dengan tergesa menuju laki-laki yang telah dilihatnya. Secepat kakinya menyusul nyatanya laki-laki itu tak terkejar oleh tubuh kecilnya, ia hanya sempat merekam bahu lebar yang dulu menjadi tempatnya bersembunyi saat merasa sedih sebelum laki-laki itu memasuki mobil dan melaju membelah jalanan kota London.
"Apa itu Daddy?"
"Kenapa ia di sini?"
"Maria! Maria! Aku harus mencoba menghubunginya!"
Semua kalimat tanya itu memburu dalam otaknya, mencoba memvalidasi apa yang baru saja ia lihat. Lody kembali berlari kecil menuju kedai untuk mengambil barang-barangnya, ia hanya ingin segera pulang agar ia bisa menghubungi Maria secepatnya.
Ia mengemasi barangnya segera, menjejalkan sisa roti lapis di atas piring dan menenggak cokelat yang kini sudah cukup dingin secepat kilat. Ia menenteng mantel panjangnya di tangan kirinya dan meninggalkan kedai.
"Aku akan kemari lagi nanti..." ucap Lody sembari berjalan meninggalkan kedai sembari menenteng mantel panjangnya.
"Hei pakai mantelmu!" jawab Jim khawatir.
Lody berjalan cepat menuju gedung paling ujung, tempat tinggalnya. Ia tak peduli dengan dingin yang perlahan menyerang tubuhnya, ia sungguh hanya ingin segera sampai. Kakinya dengan cepat menaiki anak tangga yang jumlahnya tak sedikit, nafasnya terengah-engah dan keringat mengucur di punggungnya di tengah udara minus di sekitarnya.
Lody melemparkan barang-barangnya di atas tempat tidur, menerjang ponsel yang ia simpan di laci meja belajarnya. Tak lama layar ponsel itu bersinar, menandakan ponsel itu menyala. Ia juga menyalakan televisi, jika Don benar di London untuk urusan bisnis beberapa wartawan pasti akan meliputnya, ia yakin dengan hal itu.
Perempuan kecil itu menekan beberapa tombol dan menghubungi seseorang. Nada dering menyambutnya setelah ponsel itu menempel di telinganya, cukup lama hingga sebuah suara muncul dari seberang.
"Ya?" ucap perempuan di sana.
"Dimana?" ucap Lody terbata.
"Kantor"
Lody memutus hubungan jarak jauh itu dengan cepat. Percakapannya dengan Maria hanya bisa terjadi sesingkat itu, tak boleh terlalu lama agar orang-orang suruhan Sang Ayah tak curiga dan hanya menganggap itu sebuah scam.
Hatinya perih, rasanya meledak dan berhamburan ke kaki-kakinya. Laki-laki yang ia lihat bukanlah Don, hanya seorang asing yang mungkin kebetulan sama dengan Don. Ia beranjak dari kursi kayunya, merebahkan tubuhnya yang kini limbung di atas ranjang dengan aroma pinus kesukaannya. Lody menarik selimut dan menyembunyikan dirinya di dalamnya.
Sungguh ia rindu dengan semua hal tentang Don, aroma tubuhnya, suaranya dan semua hal yang menempel dalam diri laki-laki itu. Tangisnya meledak begitu keras meloloskan rasa sesak dalam dadanya, ia tak lagi peduli tetangga sebelah apartemennya mendengar teriakannya, ia akan ribut besar jika sang tetangga mengajaknya ribut kali ini.
Ponselnya bergetar beberapa kali di atas meja belajarnya, sekali layarnya menjadi gelap tapi tak lama layar itu menyala kembali tanda seseorang menghubunginya kembali. Dada perempuan kecil itu lambat laun menjadi lega, meskipun matanya menjadi sembab sekarang.
Matanya diusap beberapakali karena terkena pantulan sinar dari ponselnya. Ia tak mengenal pemilik nomor ponsel yang menghubunginya hingga delapan belas kali secara beruntun.
"Para scammer ini sudah gila..." ucapnya kesal.
Kakinya melangkah menuju cermin, dipandanginya tubuh mungil di dalam pantulan cermin. Jari-jari mungilnya menyisir helai-helai rambut yang kusut dan menatanya dengan cukup rapi.
"Jelek..." cicitnya yang kemudian pergi meninggalkan cermin.
Lody meneguk air hangat yang ia ambil dari dapur, memeriksa email dan tiba-tiba telinganya menangkap suara ketukan pintu dan mengabaikannya. Ia merasa tak sedang menunggu kiriman apapun dan jujur ia tak ingin keluar rumahnya dengan tampilan buruk seperti sekarang.
Suara ketukan pintu itu semakin kencang dan disusul suara bel yang semakin sering ditekan. Suara itu semakin kencang di telinga Lody, hatinya menjadi kesal. Ia meletakan gelas minumnya, menguncir rambutnya serampangan dan berjalan penuh emosi menuju pintu.
Jemari tangannya menarik knop pintu apartemen dengan keras.
"SIAPA KAU?!" bentak perempuan kecil itu.
"KENAPA KAU LAMA SEKALI?!" balas seseorang di hadapannya.
Mata mereka saling bertemu.
Rindu.