30

18.6K 421 11
                                    

Don meraup wajahnya kesal, ia ingin sekali membanting meja di hadapannya. Tak sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, ternyata Don bukan mewakili perusahaannya sendiri melainkan perusahaan milik orangtua Raven. Tidak ada keuntungan apapun yang ia dapat setelah lobi dan deal-deal yang melelahkan selain sepat mata karena melihat tingkah Raven setiap waktu.

Don mengirim beberapa email pada seseorang, melihat kembali harga saham yang tertera pada layar monitor di hadapannya. Malam itu dia bicara ditelepon cukup panjang sembari menyesap kopi hitam yang cukup pekat, membaca pesan dari Brian tentang Lody yang murung. Ia hendak memejamkan matanya tetapi batal karena bel pintu kamarnya berbunyi.

"Apa? Kali ini apa lagi?" ucap Don kesal.

"Hm? Aku hanya ingin ngobrol saja..." jawab Raven menerobos masuk.

Malam itu ia mengenakan kemeja dengan beberapa kancing yang sengaja dibuka, memakai bawahan pendek yang tentu saja ketat. Percaya bahwa malam itu lelaki manapun akan sangat ingin mengajaknya bermain di ranjang. Tapi tidak untuk Don, semua terasa memuakkan hingga ia bisa saja mengeluarkan isi perutnya di hadapan Raven.

Perempuan itu duduk di sofa berlapis kulit berwarna hitam, menyilangkan kakinya lalu menyandarkan punggungnya. Sesekali ia menyesap minumannya, matanya yang nyalang menatap Don tanpa berkedip.

"Ini terakhir, aku tidak ingin terlibat apapun lagi. Terlebih kau membawa Lody dalam urusan bisnis..." ucap Don pendek.

"Kau lebih cerewet jika menyangkut tentang Lody...apa saat bersamaku dulu kau juga begitu?"

"Tidak, tidak ada gunanya... mengkhawatirkan perempuan sepertimu. Urusan dengan Tuan George sudah selesai...besok aku akan kembali."

"Urusan kita belum selesai, setidaknya... begitu..." ucap Raven sembari berdiri dan meletakan gelasnya di ujung meja.

Perempuan itu berjalan mengitari setengah meja lalu berdiri dan membungkuk tepat di hadapan Don. Don tahu apa yang Raven inginkan, dua buah dadanya menggantung ingin disentuh tetapi perempuan ini kepalang menjijikan untuk Don.

Don dengan cepat meraih batang leher perempuan itu, menekannya dengan jari-jarinya. Menariknya maju hingga kedua tangan perempuan itu harus menahan tubuhnya.

"Pergi...pergi secepat yang kau bisa. Aku bisa mematahkan lehermu malam ini juga..." desis Don sambil terus menekan leher Raven.

Perempuan itu berontak, nafasnya mulai tersengal dan jatuh tersungkur setelah Don menghempaskan cekikannya begitu saja.

"Pergi dari sini sebelum aku kembali" ucap Don yang kemudian meraih ponsel dan kunci mobilnya dan pergi meninggalkan Raven.

.

.

.

.

.

"Ada apa???" suara Lody memekik saat dua koper besarnya diturunkan dari anak tangga terakhir.

Ia terkejut dengan kondisi itu, ia baru saja melepas kepergian Lucia setelah melihat ikan besar di danau meskipun mereka tidak bisa bertemu dengan Pablo.

"Nona, nona harus pergi secepatnya..." ucap Bibi Lee yang kemudian tergesa memakaikan cardigan berwarna merah.

"Kemana? Aku tidak bisa pergi kemana pun tanpa Daddy...Bibi...kumohon..." suara Lody mengiris hati.

"Nona, percaya padaku...Nona akan baik-baik saja. James sudah menunggu..."

Bibi Lee merengkuh tubuh kecil itu dengan erat, menggandengnya lalu mengantarkannya hingga memasuki mobil. Lody menengok ke belakang melihat dua orang paruh baya melambaikan tangannya hingga gerbang baja berwarna hitam legam itu tertutup.

Di hadapannya ada seseorang kepercayaan Don, Lody tak tahu akan dibawa kemana tetapi koper-koper itu dikeluarkan berarti dia akan pergi jauh dan dalam waktu yang lama. Ia memejamkan mata, tak ingin bicara apapun. Semua terjadi begitu cepat dan sangat melelahkan, tanpa Don semuanya seperti tidak teratur.

Berita-berita di sosial media yang mengabarkan Don dan Raven kembali menjalin hubungan, menginap di hotel yang sama, makan pagi bersama dan sejenisnya membuat dirinya lelah. Ia cemburu dan marah tetapi tak ada yang bisa ia lalukan, dibandingkan dengan Raven...dia bukanlah siapa-siapa.

Raven adalah seorang bintang besar, ia sanggup memerankan peran apapun dan semua drama yang ia bintangi sukses besar. Kedua orangtuanya memiliki pengaruh besar di negara, Ayahnya adalah pebisnis handal meskipun Don tak kalah handsl dan Ibunya adalah seorang dewan dalam struktur pemerintahan. Dahulu, Don dan Raven digadang-gadang akan menjadi pasangan yang paling agung hingga Don memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan.

"Tolong ambil amplop di sebelahmu, bisakah kau bantu aku memeriksanya?" ucap James.

"Tentu..."

Lody mengambil sebuah amplop besar berwarna putih lalu membukanya.

"Sebutkan apa saja yang ada di dalamnya, kau bisa mengambilnya satu persatu agar lebih mudah..."

"Brosur pariwisata..."

James berdeham tanda ia mendengarkan.

"Ada beberapa..., brosur hotel..."

"Tiket pesawat ke....sebentar..."

"Ke Barcelona..."

"KAU AKAN MEMBAWAKU KE BARCELONA?!" Lody memekik kencang saat melihat tiket pesawat itu bertuliskan namanya.

James hanya tertawa.

"Tuan akan menyusul segera setelah urusan di Inggris selesai, sementara itu kita akan pergi ke bandara dan sembari menunggu pesawat kau bisa memilih hotel mana yang inginkan..." terang James.

"Tuan juga berpesan untuk tidak mengkhawatirkan apapun..." tambah James.

Lody terdiam. Ia tak tahu harus seperti apa, pikirannya berkecamuk hebat. Ia hanya perlahan merapikan kertas-kertas dan menyelipkan tiket pesawat dalam pasportnya.

"Apa kau menangis?" tanya James.

Lody hanya menggeleng kencang, tetapi air matanya semakin turun dengan derasnya.

"Aku mohon jangan menangis...aku bisa dihabisi oleh Tuan jika kau menangis..." ujar James gugup.

Mendengar James bicara ia semakin tidak bisa mengontrol dirinya dan berakhir dengan menangis kencang di dalam mobil.

"Haaaaa aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak mau orang di luar menganggapku menculikmu....ku mohon, jika matamu bengkak karena menangis aku yang akan habis...ku moohooonnnn..." ucap James semakin ketakutan.

Lody ingin tertawa tetapi ia justru terus menangis di sepanjang perjalan menuju bandara.

.

.

.

.

.

"Aku akan segera pergi Tuan George, aku harap kau bisa mempertimbangkan semuanya..." ucap Don sembari merapikan lengan bajunya.

"Tentu, aku sudah putuskan yang terbaik...kemana kau akan berlibur?"

"Barcelona..." jawab Don sambil tertawa.

"Dengan wanita kecilmu?" goda George.

"Tentu...ini bukan perjalanan bisnis, jadi aku tidak bisa meninggalkannya...bukan begitu?"

George tertawa terpingkal, tak lama kemudian Don berpamitan dan meninggalkan cafe tempat mereka bertemu.

George mengambil ponselnya yang sedari tadi ia simpan dalam saku. Menekan beberapa tombol lalu bicara dengans sesorang,

"Tarik semua modal, lalu pindahkan ke perusahaan Don..."

George menutup ponselnya dan menghabiskan sisa kopi hitam dalam cangkirnya.

Our SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang