55

21.2K 345 22
                                    

Pagi itu terasa berbeda, semua seperti terasa hening tetapi kepalaku terasa riuh, jantung seperti ingin melompat dari balik dadaku lalu menari seperti pion-pion di atas bidak catur.

Aku memandangi diriku di sebuah cermin besar di rumah ini, benar-benar besar hingga mungkin dosa sekecil apapun bisa terlihat. Cermin dengan lampu-lampu temaram di setiap tepinya mampu membuatmu terlihat sangat amat cantik, tak heran anak mungil itu sering menghabiskan waktunya di sini.

Kamar ini ada di ujung lorong dari rumah besar dengan gaya klasik modern, kali ini dipenuhi dengan bunga-bunga berwarna putih dan merah muda sesuai dengan permintaan sang pujaan hati. Aroma segar dan manis menguar saat aku menarik nafas lalu menghembuskannya dengan perlahan.

Aku berdiri setelah selesai memasang hiasan rambut, merapikan gaun berwarna putih dengan tepian berwarna merah. Cantik, ini terlampau cantik.

"Nona?" suara Bibi Lee membuatku kaget, meskipun setelahnya ia tertawa karena melihatku berjingkat dan berakhir dengan kami tertawa bersama-sama.

"Semua sudah siap Nona, acara bisa dimulai sebentar lagi..." sambungnya.

Aku mengangguk dan tersenyum padanya, setelahnya aku memilih memakai alas kakiku dan keluar dari kamar besar ini.

Rumah ini begitu wangi, dari sudut mana pun.

.

.

.

Perempuan mungil itu sedang bersolek, pipinya bersemu merah saat beberapa kali penata rias memuji kecantikannya. Ia sesekali memamerkan giginya yang rapi dan indah.

"Cantik sekali..." ucapku sesaat setelah aku memasuki kamarnya.

Perempuan mungil itu menghampiriku, memelukku dengan erat seperti ia tak peduli dengan riasannya yang belum selesai.

Aku memintanya kembali duduk, menyelesaikan riasannya. Aku membantunya memakai alas kaki berwarna senada dengan gaunnya, memastikan tumitnya tertutup dengan sempurna. Setelahnya aku duduk di sampingnya, menggenggam tangan kirinya dengan lembut dan sesekali merapikan gaunnya.

"Apa kau senang?" tanyaku.

"Lebih dari apa yang kau bayangkan..." jawab perempuan mungil itu.

Aku tersenyum lebar, merasakan kebahagiaan yang menguar begitu tajam dari dirinya. Mengingat beberapa bulan lalu ia masih terkurung di London, kota yang begitu dingin dengan segala pikirannya yang berkecamuk dan hari ini ia menjadi perempuan yang paling cantik.

"Key..."

"Hm?"

"Terimakasih..." ucapnya pelan.

"Untuk?"

"Terimakasih telah di sini bersamaku, terimakasih sudah begitu mencintaiku lebih dari apa yang Daddy bisa lakukan padaku. Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya, tapi terimakasih sekali..."

Aku tersenyum, memeluk tubuh mungil itu dengan hangat. Aku tak ingin rasa terimakasihnya berubah menjadi air mata kali ini, biar semua kebahagiaan berada di dalam hidupnya, meski tak selalu tapi kumohon pada Tuhan hari ini ia akan sangat berbahagia.

"Berpelukan tanpa aku?" suara nyaring itu menghampiri telingaku.

"Kemarilah..." ucapku.

Lucia memeluk kami berdua bergantian dan berakhir aku memeluk kedua perempuan tangguh ini bersama. Jika boleh aku mengingat bagaimana hidup ini berjalan, aku ingin menggantikan mereka, sungguh. Perempuan-perempuan yang tak layak hidup di kelilingi oleh orang-orang jahat.

"Setelah ini, giliranmu..." ucap Lucia.

Aku menggeleng.

"Kenapaaa?" rengek Lody.

"Aku masih ingin sendiri, menikmati kopi pagiku tanpa berbagi, mengunyah pasta tanpa takut seseorang akan mengeluh dengan cara makanku dan tentu saja aku tidak ingin pusing dengan problematika cintanya..." jawabku sembari tertawa.

Keduanya tertawa bersamaku.
Duniaku.

.

.

.

Janji itu telah diucapkan, dua manusia berbahagia itu telah disatukan oleh nama Tuhan yang paling indah. Ribuan kelopak bunga mawar putih beterbangan menghiasi udara, balon berwarna putih pun dilepaskan dan terbang menghias langit biru hari ini.

Lelaki itu terlihat sangat bahagia. Hari ini ia telah resmi melepas semua kekhawatirannya karena perempuan mungil itu kini telah benar-benar menjadi miliknya. Senyumnya berkembang saat ia mendengar janji suci diucapkan oleh Lody di hadapannya. Janji sehidup semati, tak akan ada yang bisa mengingkari dan nama Tuhan menjadi segel terakhir diantara janji-janji mereka.

"Kau sangat cantik hari ini..." bisik seorang laki-laki di sebelahku.

"Berkatmu Ayah..." balasku.

"Oh ya?"

"Tentu, siapa yang memilih gaun secantik ini hm?"

"Aku..." jawabnya sembari tertawa.

"Aku mencintaimu dengan sangat Ayah, temani aku juga ya nanti..." bisikku sembari memeluk tubuhnya.

Ia berdeham sembari menepuk punggungku. Sungguh semua terasa sangat amat sempurna.

Aku rasanya menjadi manusia paling beruntung, menjadi saksi tentang bagaimana setiap orang berproses dalam hidupnya. Don dan Lody yang kini berbahagia menjadi pasangan dalam ikatan pernikahan, Brian dan Lucia yang kini sedang mempersiapkan hari pernikahan mereka juga, Pablo dan Gisella yang kini datang membawa seorang manusia kecil yang rupawan di tengah-tengah pesta, Bibi Lee dan Paman Song yang akhirnya menikah, Maria dan James menjadi sepasang kekasih pada akhirnya setelah bertahun-tahun bersama.

Tetapi yang paling besar adalah Ayah yang berada di sampingku.

Selamat berbahagia kalian semua.
Terimakasih untuk segalanya.

.

.

.

.

.

Our Side.

Fin.

Our SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang