21

24.3K 541 22
                                    

Lody berlari kecil, melompat seperti kelinci dari parkiran kantor milik Don diikuti dengan Paman Song yang membawakan tas ransel berwarna putih gading dengan garis tepi berwarna biru tua, tas itu berisik saat digerakan karena banyaknya gantungan kunci yang disematkan.

"Pelan-pelan Nona!" teriak Paman Song saat melihat Lody sedikit terantuk sepatunya sendiri.

Lody melambaikan tangannya pada Paman Song, menyingkirkan rambutnya yang menempel di wajah. Lody mendorong pintu kaca yang tinggi di lobby, beberapa orang di sana menunduk saat melihat perempuan itu datang.

"Heiiii...Daniieelll!! Wa wa kau potong rambut?! Tampan sekali!" pekik Lody saat melihat resepsionis pria dengan usia tiga puluhan tahun itu, ia merogoh kantung seragam sekolahnya dan menyerahkan sebungkus permen lollipop pada Daniel.

"Terimakasih Nona...apa Nona akan bertemu Tuan?" jawab Daniel ramah.

"Tentu...aku bawakan ini!" ucap Lody semangat sembari memamerkan kotak makan siang untuk Don.

"Baik Nona akan saya sampaikan ke atas...Nona bisa langsung naik ke atas..." ucap Daniel.

Lody hanya mengangguk dan berlari meninggalkan meja resepsionis, melambaikan tangannya pada Paman Song yang segera mengekori Lody memasuki lift.

"Jika Tuan sedang ada pertemuan, kita harus menunggu sampai selesai Nona..." tutur Paman Song.

"Hmmmmmm..."

Pintu lift berdenting, di depan ruangan Don terdapat meja besar dan di sanalah Maria tersenyum pada Lody.

"Akan ku sambungkan dulu, Nona bisa duduk lebih dulu" ucap Maria.

"Hmm hmmm hmmm" Lody berdeham sembari menggeleng dan melangkahkan kakinya.

Ia mendorong dua sayap pintu bersamaan, meskipun sedikit susah karena di tangan kanannya menggantung sebuah kotak makan siang. Aroma mint segera menghinggapi indra penciumannya, aroma kegemaran Don. Ia mengerjapkan mata, mencoba tidak menghentikan aliran darahnya tetapi tidak bisa.

Tubuh mungil itu terpaku di sana, tepat di depan meja Don. Bola matanya bergetar, jemarinya menggenggam kencang tanpa sadar kotak makan siang telah jatuh dan sukses membuat seluruh isinya berhamburan di karpet berwarna abu itu.

"Sayang ini tidak..." ucapan Don terputus saat Lody menatapnya.

Don tahu seorang submissive tidak seharusnya melihat hal yang bisa menyulut api dalam dirinya. Don melihat kaki mungil itu melangkah, mengangkat guci kecil di atas meja dan mengayunkannya di tepi meja hingga guci itu pecah terpotong tak beraturan seketika.

Paman Song berlari mencoba menghampiri Lody, tetapi terlambat guci itu terbang dan mendarat tepat di pelipis perempuan berbaju hitam dengan tiga kancing kemejanya yang terbuka. Darah segar mengalir perlahan di wajah perempuan itu, ia memekik memaki Don dan Lody dengan kencang lalu berlari pergi.

Don menyandarkan tubuhnya di tepi meja. Menyaksikan Lody terbungkus api tepat di hadapannya. Air mata perempuan kecil itu mengalir di pipinya, emosi dalam dirinya benar membakar ruang kerja Don seperti neraka.

"Menjijikan!" Lody berkata sembari menatap Don.

Don menghampiri Lody perlahan, memeluknya dengan erat tanpa bicara sepatah kata pun. Kulit yang lembut itu kini menjadi panas, nafas yang tak beraturan dan mulut yang bergetar menjadi hadiah Don siang itu.

Lody meledak dalam tangisnya. Memaki Don dengan sumpah serapah dari mulut kecilnya, ia mendorong Don sekuat tenaga dan pergi meninggalkan ruangan dengan Don yang kacau.

.

.

.

.

.

Perempuan suruhan perusahaan kenalan Don hari itu datang. Hari itu adalah hari penentuan bagaimana perusahaan kenalan Don akan mendapatkan sponsor dari Don atau tidak. Pertemuan telah dijadwalkan sebelumnya dan hal itu memang terjadi.

Maria dan Sam tak memilik hak apapun untuk ikut bergabung dengan Don di dalam ruangan saat keputusan akan diambil. Sharon, perempuan muda dengan tubuh sintal itu duduk menyilangkan kakinya di hadapan Don.

"Aku tak bisa berlama-lama, katakan apa yang ingin kau bahas lagi" ucap Don acuh tanpa memandang Sharon di hadapannya.

Sharon hanya tersenyum, ia menghela nafasnya membuat kedua buah dadanya ikut naik seiring dengan tarikan nafasnya. Ia berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke arah Don, ia sedikit kesal karena meja Don cukup lebar hingga ia harus sedikit berjinjit untuk menyentuh Don.

"Tapi aku suka berlama-lama Tuan..." bisik Sharon.

Don mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertuju pada dokumen di meja, ia tersenyum menyaksikan seorang perempuan yang rela menggadaikan harga diri di depan matanya hanya untuk sejumlah uang yang tak seberapa.

"Sharon, aku tahu betul siapa dirimu..." ucap Don sembari memutar pena.

"Aku tak tertarik dengan boneka sepertimu, buah dadamu bahkan ujung kuku mu benar-benar membuatku muak..." tambah Don.

Dengan cepat Sharon menarik dasi milik Don hingga membuat leher Don ikut maju dan kini wajahnya tepat berada di depan wajah Sharon.

"Kau yakin dengan ucapanmu Don? Aku tahu di bawah sana ada sesuatu yang ingin merobek tubuhku..." ucap Sharon tepat di depan bibir Don.

Kejadian itu yang Lody saksikan di depan matanya, membuat perempuan kecil itu berubah menjadi singa betina yang kelaparan dan gagal mendapatkan buruan. Matanya menggelap, jemarinya menuntunnya pada sebuah guci di meja tamu, dimana seharusnya perempuan jalang itu duduk di sana, Ia memukulkan bagian bawah guci itu hingga bersisa guci dengan pecahan dibagian bawahnya.

Suara Paman Song terdengar di telinganya, teriakan Maria dan Don bercampur menjadi satu di telinganya membuat api itu semakin menyala.

Brak!

Lody mendengar pintu ruang kerja Don tertutup, mengingat rupa si perempuan jalang dengan lelehan darah ke seluruh wajahnya karena guci yang ia lempar tepat mengenai pelipis dan wajah samping perempuan itu. Darahnya semakin mendidih saat Don memeluknya, ia sungguh tak ingin ketenangan kali ini, ia hanya ingin membakar semua orang di hadapannya hidup-hidup.

Dia melangkahkan kakinya keluar dari tempat itu, menginjak nasi dan telur gulung yang ia beli untuk makan siang bersama. Melangkahkan kakinya bahkan menendang pintu lift yang ia rasa berjalan sangat lambat.

"Antarkan aku pulang, kabari Don jangan menemuiku hingga masalah ini bisa dia jelaskan dengan baik padaku Paman Song!" ucap Lody ketus.

Mobil itu beranjak meninggalkan kantor perusahaan megah milik Don, sementara Don hanya bisa berdiri mematung di balik kaca tebal dan mengekori mobil Lody dengan matanya.

"Ini akan sangat pelik..." ucap Maria.

"Pesankan aku kamar di hotel, belikan aku beberapa baju juga dan beberapa bir...aku pasti tidak akan bisa pulang malam ini..." cicit Don.

"Sudah kulakukan..."

Don mendesah berat, Lody yang menjadi singa tidak akan bisa ia taklukkan dengan mudah meskipun ia seorang dominan.

"Kau harus berfikir keras kali ini, kucing kecil itu menjadi singa dan ia akan menerkammu hidup-hidup..."

Don hanya menatap Maria dengan mata sedihnya, melangkah pergi dari tempatnya dan menaiki lift. Di ruangan kerjanya ia melihat beberapa petugas membersihkan makan siang yang tercecer di lantai karpet miliknya.

Don memejamkan matanya, menghela nafasnya sekali lagi,

"Selamat datang di neraka mu sendiri Don..." batinnya.

Our SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang