Don menggendong tubuh Lody yang berada dalam kondisi terburuknya. Perempuan kecil itu tak sadarkan diri dengan air, keringat, darah dan tentu sperma Kiv yang berlumuran di sekujur tubuhnya membuatnya berada pada titik terburuknya.
Menyusuri anak tangga tempat itu, selangkah demi selangkah Don meninggalkan tempat paling buruk yang pernah ia datangi. Terdengar samar Lucia berlari ingin menghampiri, tetapi seseorang menahannya dan akhirnya membiarkan Don dan Lody berjalan dalam diam.
Api dalam dirinya belum padam, seluruh inderanya menjadi lebih sensitif berpuluh kali lipat. Ia sungguh akan membunuh siapapun yang mendekatinya saat ini, tak ada pengecualian.
Don memeluk Lody dengan lebih erat, memastikan tubuh itu telah aman dalam dekapannya saat pandangan matanya menangkap belasan mobil sedan dengan satu buah mobil van datang memasuki pelataran.
Belasan pria dengan setelan hitam merangsek masuk ke dalam gedung, menahan beberapa orang yang mungkin adalah para staff di sana dan ada banyak murid-murid berhamburan memenuhi lantai dasar gedung tersebut.
"Tuan, semua sudah siap..." ucap seorang pria yang menghampiri Don membawakan sebuah selimut tambahan untuk Lody.
"Pulang..." ucap Don datar.
Pria tersebut mengangguk, mengirimkan kode pada beberapa orang di luar lewat alat komunikasi yang menempel di pergelangan tangan kirinya.
Don menuruni anak tangga terakhir gedung itu, merengkuh malaikat kecilnya dengan dekapan erat. Kakinya melangkah keluar gedung menuju sebuah mobil van hitam yang menunggu tepat di depan gedung berlantai empat tersebut.
Don melangkahkan kakinya memasuki mobi van tersebut yang tak lama segera ditutup oleh pria di luar. Roda-roda mobil mulai berjalan, memutar menggerus tanah tempat itu lalu berjalan menjauh. Terdengar suara sirine samar dari luar diiringi rasa sesak yang teramat sangat yang tiba-tiba memukul dada milik Don.
"AAAAARRRRGGGHHHHHH!!!"
Erangan Don memenuhi ruang kosong dalam mobil van yang bergerak dengan cepat itu, membuat dua lelaki di bagian depan tersentak.
Don. Lelaki yang biasanya begitu kuat kini hancur berantakan, matanya yang tajam kini meredup seiring gerak pupilnya yang acak memberi tanda bahwa ketakutan menguasai dirinya dan tubuhnya bergetar mengiring aliran air mata yang kini membasahi selimut Lody.
"Sebelum turun kau harus selesaikan amarahmu, kau tidak bisa merawat Lody dengan baik...kau harus membayarnya..." ucap seorang pria dengan surai disisir rapi ke belakang.
"Menangis kalau kau ingin menangis tetapi ingat saat kita sampai di rumah kita akan fokus pada Lody..." tambahnya.
"Ayah..." cicit Don.
"Hm?"
Don tak menjawab, menyembunyikan wajahnya pada selimut yang menutupi tubuh Lody. Mengerang, meraung dan menjerit sekuat yang ia bisa untuk melepaskan amarahnya sementara sang Ayah hanya terdiam.
.
.
.
.
.
"Hoi!"
"Dia masih belum sadar?"
"Belum, padahal Don tak mengenai jantungnya...mungkin hanya tersenggol" ucap James dari belakang mobil.
"Kita tembak saja kepalanya bagaimana?" tambah James.
Sedetik tubuh itu terhenyak, membuka matanya buru-buru.
"Tolong hentikan..." cicit pemuda di hadapan James.
"HIDUP!!!" pekik James.
"Aku akan membunuhmu setelah ini, aku bersumpah... Jangan berteriak!" ucap Brian terkejut.