Don membuka tirai yang menutupi dinding kaca ruangannya, air hujan menghantam kaca lalu mengalir ke bawah menciptakan ulir air yang indah. Sebelumnya Don mempersilakan pemuda itu untuk duduk, memberinya secangkir kopi susu dan beberapa kudapan.
Don melepas jas hitamnya, melonggarkan dasi yang dipakaikan oleh Lody pagi tadi.
"Siapa yang menyuruhmu kemari?" ucap Don sembari melepas kancing di pergelangan tangannya lalu menarik lengan bajunya hingga ke siku.
"Tidak ada pak...aku sendiri" jawab lelaki muda.
"Hah?!"
Don cukup kaget mendengar jawaban anak laki-laki itu, ia mengira seorang pesuruh dari bisnis lainnya datang memberikan sesuatu yang penting.
"Lalu kau siapa?" tanya Don penasaran.
"Aku Robin, teman satu kursus dengan putri bapak..."
"Lalu?"
Don mulai bingung dengan jawaban pemuda itu, ia bingung kenapa teman sekolah Lody bisa datang ke perusahaannya dan rela menunggu hingga malam.
"Kau ingin bekerja di sini?" tanya Don.
Pemuda itu menggeleng cepat.
Don semakin bingung, jika ini adalah karyawannya ia pasti sudah akan akan menggebrak meja karena membuang waktunya.
"Aku ingin menikahi Lody!" ucap pemuda itu cepat.
Pemuda itu menggenggam tangannya dengan erat, diletakkannya di atas pahanya, ia tak main-main. Lebih dari sekedar serius.
Don terdiam seperti tersiram air es, tak lama kemudian tawanya menggema ke seluruh ruangan.
"MENIKAH?!"
Don kembali tertawa. Sungguh ia tak pernah membayangkan akan ada laki-laki datang padanya dan dengan berani meminta izin menikahi Lody.
Laki-laki itu tidak melepaskan pandangannya dari mata Don, ia sungguh serius dengan keputusannya. Sekelebat dalam tawanya Don menangkap mata laki-laki itu.
"Apa yang kau miliki?" ucap Don dengan penuh tekanan.
"Kau masih bersekolah?" timpal Don.
Laki-laki itu terdiam, ia memang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Usianya terpaut tiga tahun dengan Lody, cukup baginya menikahi perempuan di usia Lody dan hanya itu yang ia pikirkan.
"Pulanglah, kau membuang waktumu di sini..." ucap Don sembari ia berdiri setelah menenggak air putih dalam gelasnya.
"Aku akan tetap menikahi Lody meskipun bapak menentangnya!"
Laki-laki muda ia berdiri, meninggikan suaranya, kali ini bukan sebuah keyakinan tetapi paksaan.
Seketika mata Don menggelap. Gelas kaca yang berada di tangannya menghantam dinding kantornya, pecah berserak hingga mengenai ujung sepatu pemuda itu.
Secepat kilat Don mencengkram kerah kemeja pemuda itu, mata hitam itu membuat pemuda itu tidak berkutik.
"Jangan pernah bicara seperti itu lagi, dia milikku..." ucap Don berbisik di telinga pemuda itu.
"Pergilah dari hadapanku sebelum aku membunuhmu ditempat ini..." timpal Don.
Don menghempaskan tubuh laki-laki itu di lantai, menarik jas hitamnya dari sandaran sofa dan berlalu meninggalkan pemuda yang terbatuk mencoba mencari udara.
.
.
.
.
.
Malam sudah cukup larut tetapi hujan tak kunjung berhenti. Don menyandarkan kepalanya di kaca mobil, sayup ia mendengar beberapa klakson dibunyikan. Pendar-pendar lampu jalanan terlihat samar terbias air hujan, mungkin di luar cukup dingin.
Kedatangan laki-laki itu sedikit mengusiknya, bukan tentang ia takut Lody dimiliki oleh orang lain tetapi usia Lody sudah cukup matang untuk menikah. Don mengusak wajahnya, ia mencoba memahami situasi hubungannya dengan Lody.
Bertahun setelah kejadian Lody hampir meregang nyawa karena kue stroberi itu, semua situasi terasa aman, Don bahkan tak memikirkan ujung hubungan yang ia jalani dengan Lody.
Ia menghembuskan nafas panjang, mengeratkan tangannya pada kemudi dan menekan pedal gas. Langit malam itu semakin pekat, rintik hujan nampaknya juga belum ingin berhenti.
Don mengintip lewat kaca depan mobilnya sesaat ia memasuki halaman rumah, pendar lampu di kamar atas tempat Lody tidur sudah mati dan itu tandanya sang pemilik kamar pun sudah tertidur. Don keluar dari mobilnya dan disambut oleh Paman Song.
"Tuan..." ucap Paman Song sembari membungkuk.
"Paman, bisa kita bicara berdua? Bawakan sebotol wine aku tunggu di ruanganku..." jawab Don.
Paman Song mengangguk dan meninggalkan Don sedangkan Don menaiki anak tangga dengan perlahan, takut membangunkan perempuan kecilnya. Ia melangkahkan kakinya menuju kamar Lody, menemukan pintu tinggi dengan warna putih gading di hadapannya. Aroma lavender menyapa indera penciumannya dengan lembut, Lody memang harus tidur dengan aroma terapi karena gangguan tidur seringkali menghampirinya.
"Begitu banyak laki-laki yang ingin menikahimu...kau tahu?"
"Apa aku terlihat bodoh karena tak mampu mengambil keputusan disaat usiamu sudah lebih dari cukup?"
"Kau tahu, aku begitu mencintaimu..."
Don bermonolog, melihat Lody yang tertidur pulas di atas tempat tidur baru. Bahkan ia tak sadar bahwa tempat tidur Lody sekarang jauh lebih lebar dan panjang karena memang ia sudah besar. Lody bukan anak-anak lagi.
Sebelum pergi meninggalkan Lody, Don mengecup lembut kening perempuan kecilnya, memperbaiki letak selimutnya dan mengusap kepala Lody dengan pelan.
Don keluar dari kamar tidur Lody, menutup pintunya perlahan. Bergegas ia melangkahkan kakinya ke ruangannya, di depan pintu sudah berdiri Paman Song membawa sebotol wine dan dua buah gelas.
Don tersenyum sembari melepaskan dasinya, mengusak rambutnya yang sedikit lembab karena keringat.
"Kau tak tampak berubah Paman, tetap seperti itu sejak Papa dulu..." ucap Don.
"Saya Tuan..." jawab Paman Song sambil tersenyum.
Keduanya duduk berhadapan, terkadang Don menghabiskan waktu istirahatnya bersama Paman Song. Berbincang tentang hal-hal ringan hingga tentang perasaannya.
"Aku harus bagaimana?" tanya Don.
"Tentang?" jawab Paman Song yang setelahnya menyesap wine.
"Pernikahan."
Paman Song terdiam, ia mencoba mencerna apa yang Don ucapkan. Kenangannya kembali ke masa lalu saat dirinya mengabdi pada kedua orang tua Don. Jalan terjal hingga hantaman dari berbagai pihak harus dilalui pasangan muda itu, meski tak berpisah secara hukum pernikahan tetapi kehidupan rumah tangga yang cukup berat akhirnya membuat mereka memilih tinggal terpisah dan melepaskan Don untuk diasuh oleh Bibi Lee dan dirinya.
"Kau harus berfikir dengan serius tentang hal ini, pernikahan bukan hanya hidup bersama dan berbahagia" ucap Paman Song.
Don terdiam, menyandarkan tubuhnya di sofa berlapiskan kulit berwarna hitam setelah mengentaskan cairan pekat itu dari gelasnya.
"Akan ku ajak Lody bicara lebih dulu, lalu akan aku ambil tindakan selanjutnya..." ucap Don.
Paman Song mengangkat gelasnya, tanda setuju dengan apa yang diutarakan Don.
"Catur?"
"Sure!" ucap Paman Song terkekeh.
Malam itu langit masih menghitam, pekat tanpa hiasan bintang dan bulan. Hujan masih mengguyur kota itu dengan lebat, seorang pemuda laki-laki terdiam menata hatinya setelah menghadapi penolakan.
"Sialan! Aku harus mendapatkan Lody!" ucap lelaki muda itu dengan geram.