Segelas lemonade dingin dan beberapa keping biskuit baru saja ditata oleh pramusaji di atas meja. Udara siang ini cukup panas meskipun angin masih sesekali bertiup membelai rambut panjang seorang perempuan muda yang kini sedang terpaku pada tugas-tugasnya.
Bibirnya sesekali berkomat-kamit seperti sedang menghafal sesuatu, pena yang berada di tangannya sesekali diputar diantara sela jarinya. Matanya yang kecil beberapa kali diusap mungkin karena kering atau sudah terlalu lelah.
"Sudah lama menunggu?"
Suara itu membuyarkan pikiran Lody, sebuah suara yang kini menghiasi hari-harinya setelah kepergiannya ke luar negeri untuk menempuh pendidikan.
"Astaga kau janji padaku akan datang pukul berapa hm?" ucapnya sambil mencubit lengan Lucia.
"Maafkan aku...aku harus mengumpulkan tugasku lebih dulu ke kampus" balas Lucia ringan.
London.
Beberapa tahun lalu, selepas ulang tahun Don perjalanan Lody menempuh pendidikan dimulai. Ayah Don membuat keputusan bahwa ia harus melanjutkan pendidikan di luar negeri tanpa Don, saat itu menjadi beban berat bagi Lody karena bagaimana pun meninggalkan Don sendiri adalah ketidakmampuan untuk dirinya sendiri. Lody melakukan banyak diskusi dan tawaran pada sang Ayah hingga akhirnya sang Ayah mengizinkan Lucia untuk pergi bersamanya.
Tak ada yang tahu bagaimana cara menghubungi Lody di London kecuali sang Ayah. Semua komunikasi seperti ditutup bahkan ia tak lagi bisa menghubungi Don. Beberapa waktu lalu ia sempat melihat berita tentang Don di kampusnya lewat layar televisi yang dipasang di lobby, pria yang ia cintai begitu tampan, tubuhnya masih tegap dan sebuah aksesoris dasi yang terlihat oleh mata mungilnya membuatnya sedikit tenang, setidaknya begitu.
"Jadi bagaimana, tidak akan pulang saat musim dingin?" tanya Lucia.
"Aku belum tahu..." jawab Lody berat.
"Tak apa kalau aku tinggal sendiri?"
Pertanyaan itu dijawab dengan sebuah anggukan. Sungguh ia ingin pulang, kembali ke negaranya lalu bertemu dengan pria yang selama ini ia rindukan tetapi Sang Ayah pasti akan membuat segala macam cara agar ia tak bisa menemui Don. Ia sadar ini bukanlah perpisahan, ia hanya harus menyelesaikan pendidikannya agar ia bisa pulang.
"Hanya tinggal satu tahun, aku akan baik-baik saja Lu...tidak apa-apa" ucapnya berat lalu disusul dengan air mata yang tiba-tiba menetes membasahi kertas.
Lucia berdiri lalu memeluk tubuh mungil Lody, ia menyadari bertahun-tahun hidup dengan perasaan seperti ini pasti tidak akan mudah. Ia bahkan tahu beberapa kali Lody menangis dalam diam sembari menutup wajahnya dengan bantal atau sembunyi-sembunyi menangis di dalam kamar mandi tetapi ia sendiri tak bisa berbuat apa-apa. Ia beberapakali pulang ke negaranya, mencoba menemui Don tetapi selalu gagal.
"Kita pulang hm? Tak apa-apa biar aku yang bereskan" ucap Lucia sembari mengemasi barang-barang milik Lody yang berserak di atas meja. Langkah perempuan mungil itu terasa berat, membawa rindu dan semua kenangannya pergi membelah sudut-sudut kota London yang riuh.
.
.
.
.
.
"Setelah ini akan ada pertemuan dengan pihak sponsor..." ucap Maria.
"Usahakan mereka datang ke kantor kita hari ini, aku sudah malas sekali pergi keluar..." jawab Don ringan.
"Malas pergi atau kau malas ditanyai mengenai Lody?"
"Akan ku jawab jika aku tahu, aku tak tahu dimana Ayahku menyembunyikannya..." jawab Don sambil memeriksa surel yang masuk.
"Tidak berniat mencarinya?"
"Tentu tapi aku tahu hasilnya Lody akan semakin lama disembunyikan oleh si tua itu..."
"Sedikit saja aku bergerak, ia mungkin bisa menyembunyikan Lody di dalam perut ikan paus" tambah Don.
"Biar saja ia melakukan apa yang menurutnya benar, aku tak ingin menyelanya... keberadaan Lody menjadi taruhanku" suara Don menjadi lirih seiring dengan helaan nafas panjang, tanda ia telah pasrah dengan apa yang ia hadapi saat ini.
Maria terdiam, bertahun lalu ia yang menghadapi hancurnya Don saat mengetahui Lody menghilang dari jangkauannya. Don tak mau datang di setiap pertemuan, ia hampir saja berhasil menggulingkan perusahaan dengan tangannya sendiri. Beberapa sisi kaca di kantor ini sempat diganti karena Don mengamuk, mencoba mengeluarkan emosinya dengan melempar kursi kerja ke arah kaca. Kini ia lebih tenang meskipun Maria masih sering melihatnya terdiam, termenung berjam-jam tetapi setidaknya emosinya tak lagi meluap.
"Untukmu..." ucap Maria menyelipkan sebuah amplop berwarna putih di antara tumpukan dokumen.
"Hm?"
Don melihat amplop itu tak ada bedanya dengan amplop yang lain, di sisi kiri atasnya ada nama perusahaannya beserta alamatnya ditulis dengan tinta hitam sebentar kemudian Don menatap Maria, mencoba memastikan sesuatu.
"Terimakasih" ucap Don singkat.
"Aku akan menghubungi sekretaris di sana dulu, kita bertemu di lobby..." ujar Maria.
Don menjawabnya dengan deham dan meneruskan pekerjaannya, memeriksa dokumen dan menandatangani berkas-berkas yang harus ia siapkan sebelum ia pulang. Ia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, membereskan beberapa lembar dokumen dan membawanya ke kamar istirahatnya. Ia masih memiliki beberapa jam sebelum pertemuan berlangsung, ia berfikir akan lebih nyaman jika ia bisa memeriksa dokumen dengan sedikit bersantai, duduk berjam-jam membuat punggungnya nyeri.
Lembar-lembar dokumen itu ia letakan di sisi tempat tidur setelah mengunci pintu kamar istirahatnya rapat-rapat. Don secepat kilat menarik amplop putih yang diberikan oleh Maria sebelumnya, menerawangnya ke arah pijar lampu agar ia tak merobek isinya.
Don kini tak bisa sembarangan melakukan ini dan itu di ruang kerjanya, sang Ayah memasang kamera pengawas untuk memastikan ia tak melakukan hal-hal yang menyangkut keberadaan Lody. Tersisa kamar istirahatnya yang dengan susah payah Don minta untuk tidak dipasang kamera pengawas dan sang Ayah mengabulkannya.
Amplop itu ia buka dengan merobek salah satu sisinya setelah memastikan ia tak akan merusak isi dalam amplop tersebut. Jantungnya berdegup dengan kencang, jemarinya bahkan bergetar.
"Sial!" ujarnya melemparkan amplop tersebut ke tempat tidur.
Ia mengatur nafasnya dengan susah payah, melangkah ke segala arah untuk meredakan rasa gugupnya. Ingin ia mengumpat pada Maria jika isi dari amplop ini tak seperti apa yang ia harapkan.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, ia mengambil amplop yang tergeletak di tempat tidur itu dengan cepat dan mengeluarkan isinya dengan hati-hati.
Sesuatu yang hangat kini mengisi rongga jantungnya, menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan, isi kepalanya yang riuh seketika menjadi hening dan tenang.
Selembar kertas bergambar perempuan mungil miliknya sedang membaca buku tebal, memakai kemeja bermotif mozaik dengan hiasan pita berwarna putih menghiasi rambut lurusnya.
"Cantik..."
"Selalu cantik..."
"London"
Don tersenyum lebar siang itu, seperti sebuah kerongkongan yang baru saja terguyur air dingin di terik matahari.