Langit masih gelap sesaat setelah Don mengintip dari balik tirai di kamarnya. Semalaman ia resmi tidak menutup matanya kecuali saat ia harus berfikir kemana bidak caturnya akan diarahkan untuk menumbangkan bidak Paman Song.
Pikirannya melayang saat ia menyaksikan kedua orangtuanya memilih berpisah meski tak bercerai, hidup dengan situasi keluarga yang seperti itu tidak membawa dampak baik bagi dirinya. Ia hanya bisa bertemu Ibunya saat pengambilan raport di dalam kelas dan berakhir di tempat parkir. Melihat punggung Ibunya kian menghilang dari balik kaca mobil adalah hal biasa bagi Don.
"Setiap rumah tangga memiliki ceritanya sendiri Tuan, Tuan bisa memperbaiki cerita lama yang buruk..."
Ucapan Paman Song membuatnya berfikir tentang beberapa kemungkinan, ia sendiri tahu sebuah pernikahan bukan hal yang mudah untuk dijalani. Tetapi ia juga tidak menampik dirinya sendiri bahwa dengan semua yang ia alami, ia dapat lebih berhati-hati.
Don melangkahkan kakinya keluar dari kamar tidurnya, menutup pintu tinggi dengan hati-hati. Kakinya tanpa diperintah langsung menuju kamar perempuan mungil yang saat ini mungkin sedang bermimpi menaiki komedi putar sembari mengunyah gula kapas.
Don membuka pintu kamar Lody, mengintipnya sedikit untuk memastikan perempuan mungil itu masih tidur. Bibir tipis Don tersenyum melihat perempuan kecil itu tidur dengan serampangan. Kaki-kakinya menjuntai ke bawah dengan mulut menghisap pacifier.
Perlahan Don merapikan posisi tidur Lody, ia juga tidak tahu sejak kapan Lody tidur dengan posisi seperti itu. Membuka selimut Lody berarti ia menemukan perempuan mungil itu tidur tanpa memakai baju dalam dan hanya memakai piyama tipis. Buah dadanya mungil dengan puting berwarna merah muda tampak menyembul dari balik kain.
Don menatap perempuan itu dengan lekat, melepas pacifier, mendudukkan tubuhnya meskipun sedang tertidur lalu dengan lembut ia memagut bibir perempuan mungil itu. Tak ada balasan dari Lody, hanya Don yang bergerak sendiri. Lidahnya menyesap bibir atas dan bawah Lody perlahan-lahan, mencoba melesakkan lidahnya dalam mulut Lody sedangkan tangannya memilih untuk meremas buah dada Lody dengan perlahan.
"Daddy..." cicit Lody perlahan saat bibir Don terlepas dari bibir mungil perempuan yang setengah tertidur.
Don terdiam, memeluknya dengan erat. Segala rapal doa ia gaungkan dalam hatinya, kalimat tegas dari seorang anak muda itu begitu mengganggu dirinya.
"Apa aku boleh menikah?"
Lody bersuara lirih, memeluk tubuh Don dengan erat. Hangat menghampiri tubuh mungil itu, menaikan kedua kakinya di atas pangkuan Don dan menyerukan wajah sayunya di dada Don.
Don memeluk tubuh mungil itu dengan erat, merasakan degup jantung yang perlahan menjalar ke tubuhnya dan membawa dirinya pada masa lalu saat Lody pertama kali membuat jantungnya berdebar.
"Kau ingin menikah dengan siapa?" bisik Don.
Tak ada balasan dari Lody, hembusan nafas pelan dari indera penciumannya menerpa kain satin hitam milik Don. Perlahan Don mengusap punggung Lody dan merapikan rambutnya.
"Dengan Don..."
"Hanya dengan Daddy..."
"Selalu begitu..."
Kalimat putus-putus itu membuat Don terdiam, mengeratkan pelukannya dan menyerukan wajahnya pada lipatan leher Lody.
Ia bukan takut Lody akan menolaknya meskipun perjalanan hubungan mereka tak bisa dihitung dengan jari, tetapi terlintas dalam pikiran Don bahwa Lody dalam kekuasaannya dan apapun yang Don inginkan Lody akan melaksanakannya meskipun itu menyakiti hati Lody.
Ia tak ingin mendapatkan jawaban dari sebuah ketakutan.
"Daddy, takut aku tidak mencintaimu? Tidak menginginkanmu?"
Mata Lody terbuka, menatap dalam bola mata dengan kornea hitam legam di hadapannya. Bola mata itu bergetar, tak seperti biasanya begitu tegas dan tajam. Ia tahu pria di hadapannya ketakutan.
"Apa yang membuat Daddy tidak percaya padaku?"
Don menggeleng.
"Aku akan menikah denganmu, apapun yang terjadi..." ucap Lody tegas.
"Ia hanya penasaran, jangan bunuh dia dan jangan sakiti dia Daddy...dia teman sekolahku" tambah Lody.
Don mengangguk menyetujui permintaan Lody meskipun dalam hatinya masih marah. Don menghadiahkan sebuah ciuman panjang pada bibir mungil Lody, tidak ada yang bisa ia katakan meskipun isi kepalanya penuh dengan ribuan kosakata yang ingin ia sampaikan.
Don merebahkan tubuh Lody perlahan, menindihnya dengan rapat.
"Tidak terlalu pagi? Matahari belum muncul..."
Sekali lagi Don menggeleng.
Lody kembali menutup matanya dan membuka tangannya.
Don memeluk erat tubuh Lody, mencium leher lembutnya dengan hangat. Menggigitinya dengan lembut.
"Agh..."
Dada Lody membusung saat perih menjalari buah dadanya yang diremas dengan gemas oleh Don, disusul dengan sebuah gigitan dan tarikan pada puting payudaranya.
"Daddy..."
Don menuruni tubuh Lody, puluhan kecupan menghampiri kulit lembut milik perempuan mungil itu yang diselingi dengan suara lenguhan panjang.
"Mmhh!!!"
Suara geraman Lody tertahan saat Don menyusupkan kedua jarinya ke dalam liang kewanitaan Lody. Terasa kasar dan panas menghentak seketika pada dinding kewanitaannya. Lody mengerang kedua kalinya saat Don memutar perlahan kedua jarinya di dalam liang hangat itu.
"Sshh..."
Don berbisik tepat di telinga Lody, memeluk tubuh Lody yang tersentak pelan akibat permainan jari Don di bawah sana. Don menyapu setiap jengkal dinding lembut itu dengan pelan, memastikan tak ada yang terlewat.
"Dad...agh"
Lody mengerang kembali, jari itu semakin cepat berputar sesekali menusuk dan menggaruk dengan cepat membuat sesuatu dalam dirinya terhentak dan memaksa ingin keluar. Sementara Don tak kunjung memiliki niat untuk menghentikan aktivitas jarinya di dalam sana.
Puncak itu semakin dekat saat Don menjepit klitoris Lody dengan ibu jarinya, menekannya ke bawah dan bertemu dengan dua jari di dalam kewanitaan Lody.
"Keluarkan..."
Lody mencengkeram selimut yang tercecer di sisi tubuhnya, meremasnya seiring dengan puncak yang ia dapatkan. Kedua pahanya terasa hangat oleh cairannya sendiri, tubuhnya masih bergetar meskipun tak sehebat saat puncak itu meledak dalam dirinya.
"Kita lakukan perlahan kali ini..." ucap Don lirih.
Perempuan mungil itu mengangguk, sesekali mencoba mengais oksigen di dalam kamar remangnya dan mencoba menyadarkan dirinya sendiri sebelum gelombang yang lebih besar datang.
Don menindih tubuh mungil itu dengan hati-hati sedangkan dirinya sama dengan Lody, tak ada sehelai benang pun berada di permukaan kulitnya. Don mengurut kejantanannya sebentar, menepuknya tepat di atas permukaan kulit kewanitaan Lody dan erangan yang ia dapatkan sebagai jawaban bahwa Lody telah siap.
Don menurunkan pinggulnya, menempatkan kejantanannya. Mengunci tatapan mata Lody pada bola matanya.
"Jangan alihkan pandanganmu padaku, tetap di sini bersamaku..." cicit Don perlahan sebelum dirinya bergerak.
Perempuan kecil itu mengangguk, mengecup bibir tipis Don dan memeluk punggung Don sekuat yang ia bisa lakukan.
"Tidak ada safe word kali ini...aku ingin Daddy, semuanya milikku..."
Don mengangguk setuju.