54

17K 381 19
                                    

Kamar tidur itu kini menjadi riuh dengan desahan Lody dan sesekali terdengar geram dari Don. Kejantanan Don yang terus memompa liang kewanitaan Lody menjadi alasan utamanya, ia tak ingin berhenti kali ini.

"Aaagghhh...daddy kumohon..." racau Lody saat liang kewanitaannya terada sangat penuh dan semua dinding kewanitaannya seperti bergerak tergesek oleh kejantanan Don.

Erangan Lody semakin menjadi saat ia mendapatkan puncaknya untuk kesekian kali, ia tak peduli kini pelapis kasurnya telah basah oleh cairan dan keringat. Tubuhnya mungkin lelah tetapi ada di dalam dirinya yang menginginkan lebih dan lebih.

"Baby...aaaghhhh!"

Don mengerang saat Lody mendapatkan puncaknya, kejantanannya terasa benar-benar terjepit dan dihisap dengan saat kuat. Don mencengkram kuat pinggulnya milik Lody, memompa liang yang basah itu dengan lebih cepat, menekan titik sensitif tubuh itu dengan lebih keras dan hasilnya adalah Lody yang kini semakin tidal berdaya di hadapannya.

Don memeluk erat tubuh Lody sementara perempuan lemas itu meraih punggung milik Don dengan susah payah. Don membaringkan kepalanya tepat pada ceruk leher milik Lody sementara pinggulnya masih terus bergerak memompa liang kewanitaan Lody yang semakin sempit.

"Baby... I'll cummm..." bisik Don pelan.

Lody mengangguk.

"DADDDDYYYY!!! AAAAAAGHHHHHH"

"NNNNNGGHHHHHH!!!"

Tubuh Lody melenting ke atas dan bergesekan dengan tubuh Don yang kini penuh dengan keringat, jemarinya menancap pada kulit pucat punggung milik Don. Matanya terpejam erat sementara tubuhnya bergetar hebat, ia merindukan ini sengatan pada tubuhnya.

"Mmmhh..."

Lody bersuara setelah gelombang besar itu sedikit luruh, sentuhan Don pada puncak kepalanya mengembalikan kesadarannya sedikit demi sedikit. Perlahan tubuh Lody melemas dan nafasnya berangsur pulih.

"Aku bersihkan dulu, ini berantakan sekali..." bisik Don perlahan.

Don membersihkan tubuh Lody dengan handuk hangat, meskipun ia sempat mondar-mandir di dapur karena ini bukan rumah atau apartemen miliknya tetapi akhirnya ia berhasil untuk membersihkan tubuh perempuan mungilnya. Ia juga mengganti kain pelapis kasur milik Lody dengan sprei berwarna cokelat tua dengan aksen garis vertikal berwarna kuning gading.

"Nyaman?" tanya Don saat perlahan ia membaringkan tubuh lemas Lody seusai mengenakan pakaian bersih padanya.

Don berbaring di samping Lody, menatap langit-langit kamar tidur yang cukup tinggi di hadapannya. Sementara Lody menggenggam tangan besarnya.

"Berapa kali kau menangis?"

"Kalau ku kumpulkan lalu ku jual mungkin aku bisa menjadi milyader, mengalahkan Daddy..." cicit Lody yang kini berbaring miring mengamati wajah Don lekat.

Don tersenyum mendengar jawaban dari Lody, ia kini memeluk erat tubuh mungil di hadapannya. Don mengusap lembut kepala Lody, memberikan apa yang selama ini tak mampu ia berikan. Pipi bersemu merah milik Lody juga tak lepas dari kecupan kecilnya.

"Kau sekolah dengan sangat baik..."

"Ku lakukan agar aku cepat bisa pulang..." jawab Lody.

Don memberikan kecupan singkat pada bibir mungil milik Lody yang kini berwarna merah karena ulah Don sendiri.

"Bagaimana Ayah? Apa dia akan membuang kita ke kutub utara setelah ini?" tanya Lody sembari memainkan jarinya di atas lengan Don.

"Kalau kita dibuang ke kutub utara, maka aku akan membuangnya di kutub selatan lalu kita akan membangun iglo dan memelihara beruang salju. Bagaimana?"

Perempuan kecil itu tertawa, bahunya naik dan turun karena tawanya. Ia mengacungkan ibu jarinya ke udara tanda ia setuju dengan ide milik Don.

"Jangan pergi hm?" ucap Lody.

"Aku akan di sini untuk beberapa waktu, sekarang tidurlah..."

"Janji?"

"Iya sayang..." ucap Don yang kemudian membubuhkan kecupan manis di kening perempuan yang ia cintai.

Don mengusap punggung Lody dengan lembut, memeluknya erat dan membisikkan doa-doa kecil pada telinga Lody. Lody yang telah kehabisan tenaga perlahan-lahan mulai menutup matanya, tenggelam dalam aroma pinus yang menguar dari tubuh Don dan akhirnya memasuki tidur lelapnya.

Setelah Don memastikan Lody telah lelap, ia bangun dengan perlahan-lahan memastikan Lody tidak akan terbangun. Tangannya dengan hati-hati menutup pintu kamar tidur perempuan mungilnya.

Ia menuang segelas air putih lalu meminumnya perlahan-lahan sementara jemarinya menekan beberapa angka di layar ponselnya. Sebuah nada sambung terhubung sesaat setelah ia menempelkan ponselnya di telinga.

"Hm?"

"Apa dia baik?" suara seorang laki-laki terdengar dari seberang.

"Tidak"

"Bawa pulang!"

"Tidak" jawab Don.

"Akan aku buat dia hamil lalu kami akan hidup di sini..." imbuh Don sembari tertawa ringan.

"Anak sialan! Kau tidak akan bisa menikah tanpa aku..." ucap sang Ayah sambil tertawa.

"Dia baik Ayah tapi dia sering menangis, tentu karena dia merindukan aku..." ucap Don.

"Apa semua lancar?" tanya Don.

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, semua berjalan dengan lancar. Oh Key sangat membantu... pekerjakan dia sebagai..."

"Dia punya pekerjaan sendiri Ayah, tolong jangan lupakan itu..." tutur Don mencoba membuat sang Ayah paham dengan kondisi teman baiknya.

"Baiklah...aku titip anak kesayanganku" ucap sang Ayah yang selanjutnya sambungan telepon itu terputus.

Don menghela nafasnya, memutar cangkir berisi air putih hangat di hadapannya, menata nafasnya yang sempat tak beraturan dan memilih kembali ke kamar Lody untuk berbaring.

Keuntungan perusahaan sebesar dua puluh lima persen akan ia serahkan ke perusahaan sang Ayah sebagai ganti pertemuannya dengan Lody. Ia tak ingin memikirkan berapa banyak jumlah uang yang akan terbang begitu saja tanpa ada imbal balik apapun untuk perusahaan, baginya yang terpenting adalah Lody kini bersamanya.

Don kembali merengkuh tubuh mungil yang berselimut kain linen tebal berlapis-lapis. Mengusap perlahan rambut perempuan pujaan hatinya dengan perlahan, mengecup keningnya dan berakhir dengan Don yang ikut terlelap bersama Lody.

.

.

.

.

.

Lucia menyeret kopernya yang berat dengan cepat lalu berbelok ke arah lorong kamar mandi. Ia memasuki sebuah bilik kamar mandi dan menekan beberapa tombol pada ponselnya. Tak butuh waktu lama terdengar nada sambung di telinganya.

"Apa papi sudah sampai?"

"Sebentar lagi sayang..."

"Selalu terlambat" balasnya singkat.

"Astaga, aku sedang berada di tempat parkir..." ucap Brian dengan gemas.

"Oh, baiklah aku akan keluar..."

Setelahnya sambungan telepon itu ditutup. Lucia kemudian kembali menyeret koper besarnya dan tak lama ia menjumpai seorang pria yang tak terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Paman Don dan tubuhnya tak segagah Paman Don tetapi baginya pria ini yang terbaik.

Sebuah rentangan tangan menyambutnya pulang, pelukan hangat menjalari kulitnya yang terbungkus mantel tebal dan ciuman di kepala menjadi penutup rindu yang begitu besar.

"Aku lapar..."

"Makan aku saja hm?" ucap Brian.

"Aku sungguhan lapar..." balas Lucia sembari melotot.

"Ouuhh anak harimau ini benar-benar...kau hanya pulang untuk makan hah?"

Keduanya tertawa dalam rindu yang dalam.




Our SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang