Lantaran minimarket berjarak tak jauh dari rumah, Aliyah pergi sendirian. Tujuan pertamanya adalah mendatangi showcase, mencari minuman pelengkap hidupnya. Bibir Aliyah melengkung sempurna melihat barisan kotak berwarna merah jambu tersusun rapi di sana. Ia mengambil beberapa kemasan, tidak perlu menggunakan keranjang sebab kedua tangannya masih bisa menampung belanjaannya.
Setelah itu, ia beralih ke rak camilan. Saat berbalik, badan Aliyah ditabrak seseorang. Menjatuhkan barang bawaannya ke lantai. Aliyah memandang nahas ke bawah, lalu menatap garang si pelaku yang memakai topi hitam dan masker.
“HEH! Kalo jalan pakai mata, dong! Susu stroberi gue jadi jatoh, kan!”
Laki-laki itu membuka penutup kepalanya, “Sori-sori,” ucapnya dengan refleks menempelkan telapak tangan. “Eh, Aliyah?”
“Lo, kok, tau nama gue?” tanya Aliyah heran. Sekilas ia melirik tangan pria itu yang bersembunyi di balik jaket kulitnya, samar-samar tampak seperti benda yang biasa dipakai wanita pada saat tamu bulanan tiba. “Buka aja maskernya, gue udah tau, kok, yang lo beli.”
Pria itu menghela napas dan menyodorkan benda di tangannya ke hadapan Aliyah. “Pegangin.”
“Hah?” satu kata mewakilkan longoan Aliyah. Namun, lelaki yang mengenalinya itu mengambil tangan Aliyah yang kosong untuk menampung barang yang dibawanya. Saat tangannya tidak ada beban, barulah pemuda itu membuka maskernya. “Elo, Rash?” wajah dungu Aliyah berubah jadi menahan tawa, yang sebentar lagi akan pecah karena mendapati si pria yang membeli pembalut adalah Arash Daafi Vananda.
“Tai emang,” umpat Arash setengah malu.
Wajah Aliyah memerah, masih terkikik geli sambil memutar-mutar pembalut di tangannya. “Arash beli roti Jepang? Tumben banget! Buat siapa? Pacar lo, ya? Duh, pasti pacar lo seneng banget dapet cowok kayak lo,” ledeknya.
“Brisik lo, anak kecil!” semprot Arash sarkas.
Aliyah terdiam, giginya bergertak. “Apa lo bilang? Anak kecil?!” ucapnya dengan mata melotot.
“Iya. Anak kecil yang tiap hari minumnya susu stroberi, pake sampo stroberi, ngemil stroberi, apa-apa makan stroberi. Stroberiii aja trus,” balas Arash. Jadilah mereka bertengkar di dalam minimarket, mengundang mata mbak-mbak kasir untuk menyaksikan.
Arash berkata fakta, mengetahui semuanya dari matanya sendiri. Rambut cewek itu yang wangi stroberi, tiap bertemu di kafe-kafe minumnya selalu stroberi. Kadang Arash heran, apa Aliyah tidak pernah bosan mengonsumsi segala yang berbaur stroberi?
“Suka-suka gue, lah! Ngapa lo sewot?” Aliyah menjulingkan matanya, sangat kesal bertemu Arash kali ini. “Udah jatohin susu stroberi gue, pake ngata-ngatain gue lagi lo!”
Sontak Arash melihat ke lantai, ia memunguti minuman kemasan itu kemudian diserahkannya kembali. “Nih!”
Bukannya menerima, Aliyah hanya memandangi Arash dan susu stroberi tersebut bergantian. “Nggak mau yang udah jatoh, ambil lagi yang baru! Ntar rasanya jadi nggak enak.”
“Kan, nggak sampe tumpah, Al. Ribet banget, sih, lo,” gerutu Arash, tetapi tetap mengambil susu yang baru sesuai perintah Aliyah.
Arash membawa tiga kotak susu, Aliyah menyodorkan benda milik Arash tadi kembali ke hadapan pemuda itu, “Nih, ambil pembalut lo.”
“Bawa dulu bisa nggak sih, Al? Gue bayarin susu lo, deh,” tawar Arash, terdengar amat menggiurkan.
Aliyah mengacungkan jempolnya, memeluk pembalut itu tanpa malu. Terlalu senang sebab uangnya tidak perlu berkurang. “Nggak sekalian bayarin yang lain, Rash? Selai stroberi sama es krimnya enak kayanya, tuh.”
KAMU SEDANG MEMBACA
With(out) Strawberry (COMPLETED)
Teen FictionJUDUL SEBELUMNYA 'STRAWBERRY MILK' Bagi Aliyah Afifa, susu stroberi adalah hidupnya. Sehari tanpa susu stroberi bagai insan tanpa pasangan, serasa ada yang kurang. Termasuk menerima Arash sebagai pacarnya, disogok dulu dengan iming-iming susu strobe...