43. Kita Putus

426 32 11
                                    

"Makasih udah nganterin gue, Ngga," ucap Aliyah begitu Angga membawanya pulang dengan mudahnya.

Aliyah jadi bertanya, mengapa Angga tahu rumahnya tanpa Aliyah memberi petunjuk jalan?

Namun, Aliyah membiarkannya. Mungkin karena Angga pernah ke rumah nenek Arash dan tak sengaja mengetahuinya.

"Sama-sama," jawab Angga seadanya. "Lo kenapa, sih? Kasian gue ngeliat Arash teriak-teriak kayak orang gila."

Mampuslah Angga jika Arash naik pitam lagi melihatnya.

"Nggak pa-pa. Agak kesel aja gue."

Angga menganggut-anggut. "Gue bisa ngomong sama lo bentar?"

"Ngomong ap-" pertanyaan Aliyah terputus sebab adanya bunyi deringan ponsel. Aliyah mengeluarkan benda pipih itu dari sakunya. "Ngga, sori, ya. Ini papa gue nelfon. Sori banget nggak bisa ajakin lo mampir. Gue masuk duluan. Makasih sekali lagi."

Angga menatap datar badan Aliyah yang menjauh darinya. "Sama-sama. Ayo, vespa. Kita pulang!"


🍓🍓🍓


Pernah merasakan berada di antara dua pilihan berisiko tinggi?

Ya, Arash merasakannya. Setelah Aliyah diantar pulang oleh Angga, Arash tidak langsung mengikutinya. Tidak mungkin Arash membiarkan seseorang dalam bahaya di saat hanya dirinya yang tersisa di sana.

Amarah Arash seketika luntur. Ia ingin bertanya apa Kamel sudah gila membuat lelucon yang berdampak pada hubungannya dengan Aliyah. Namun, Arash tak kuasa melihat keadaan Kamel yang melemah. Darah yang mengucur di hidungnya, serta napasnya yang tidak teratur, Arash betul-betul tidak sampai hati.

Seusai mengantar Kamel pulang, yang ternyata ibunya Kamel juga bersiap membawa Kamel cek up, Arash segera ke rumahnya. Lebih tepatnya, menemui Aliyah.

Arash tidak bisa melihat gadis itu marah padanya. Merasakan wajah terlukanya juga membuat Arash ikut tersakiti.

Dan Arash ... tidak bisa memegang kata-katanya kala papa gadis itu pernah datang menemuinya.

Beberapa hari yang lalu.

"Ada apa, Om?"

Dengan wajah tenangnya, Nov tersenyum tipis. "Nggak apa-apa. Saya cuma mau ketemu sama orang yang berhasil memikat hati anak saya."

Arash berusaha menyembunyikan gelagat terperangahnya mendengar kalimat pria kepala empat itu. "Berarti Om kasih restu ke saya, nih?"

Nov menutup rapat mulutnya, menyembunyikan tawa. "Kalau kamu mampu."

"Saya nggak bisa pastikan saya mampu, Om. Tapi saya selalu berusaha untuk itu."

Pria itu tersenyum tipis. Tangannya menepuk pelan punggung Arash. "Saya pegang kata-kata kamu. Dan tolong, jaga Aliyah selagi saya tidak bisa ada di dekat dia."

Arash menoleh, menyorot manik mata Mr. Nov yang berpendar harap. Seolah permintaannya memang harus dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Arash meneguk ludah. Perkataan papa pacarnya itu memang tidak sulit. Menjadi pilihan hati Aliyah, Arash selalu berniat menjaga dan membuatnya bahagia. Ketika diberi kepercayaan langsung oleh orang tuanya, entah mengapa Arash terlalu gugup menghadapinya.

"Pasti, Om. Saya akan jaga Aliyah."

Arash mengusap wajahnya dengan gusar. Susunan demi susunan tertata rapi di kepalanya. Pertanyaan yang menghantuinya kini telah terjawab.

Tentang mengapa Om Nov meminta Arash menjaga Aliyah, yang ternyata Aliyah akan merasakan perpisahan dari kedua orang tuanya.

Tentang mengapa Aliyah akhir-akhir ini seakan terpuruk, itu semua sebab satu kenyataan yang saling berkaitan dan berujung pada ketentuan yang sama.

With(out) Strawberry (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang