5. Kenapa Harus Aliyah?

790 46 5
                                    

Aliyah terlambat bangun. Efek menonton drama series yang baru update tadi malam. Ia harus bangun satu jam lebih lama dari biasanya.

Sudah terlambat, dilengkapi dengan omelan sang mama sepanjang pagi. Aliyah panik takut gerbang ditutup sebelum ia tiba di sekolah, ditambah siraman cerocosan mama semakin membuatnya kalang kabut.

"Makanya kalau tidur jangan kemaleman. Kamu itu nggak pasang alarm sendiri? Mama udah bangunin tapi kamu nggak nyaut. Emang kerjaan mama bangunin kamu terus apa? Mama juga masak, bantu Cheiko siap-siap. Kamu tu makanya pintu kamar jangan dikunci, kalo mama mau nyiram kamu jadi susah, kan."

Fokus Aliyah jadi terbagi. Tidak menjawab sang mama, tetapi pidatonya sayup-sayup ia dengarkan juga. Pamit dengan mencium tangan mamanya dan bergegas menghampiri motornya.

Masih ada lima belas menit lagi, Aliyah mengebut. Tepat saat bel berbunyi, Aliyah dan motornya sudah terparkir indah di barisan paling belakang. Tidak perlu mendapat surat izin masuk yang mana bisa membuat poin di kartu pelanggarannya yang tidak pernah tergores satu angka pun.

Aliyah berlari, berharap guru paling disiplin belum sampai ke kelasnya. Pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia, yang diajar oleh Bu Cintiya. Pengajar itu akan masuk satu menit setelah bel berbunyi. Dia ketat akan peraturan. Pembawaan wajah galaknya tidak akan segan-segan mengusir siapa saja yang tidak tepat waktu saat belajar dengannya.

Jantung Aliyah kian berpacu lantaran dari jarak beberapa meter menemukan postur guru yang dimaksud. Dibanding dengan lintasan Aliyah, perkiraan wanita itu lebih dekat untuk sampai ke kelasnya. Jika sudah begini Aliyah harus bagaimana? Berlari pun tidak akan sempat terkejar.

"Slamat pagi, Bu Cin..."

Itu suara Arash, yang tiba-tiba menghentikan pergerakan Bu Cintiya untuk berbalik menghadapnya. Setidaknya Aliyah bernapas lega, berjalan cepat-cepat agar sampai dahulu ke kelasnya.

"Pagi juga, Arash. Ada apa?"

Arash menyalami punggung tangan Bu Cintiya, "Nggak ada, Buk. Saya cuma kangen belajar sama Ibu lagi."

"Saya malahan bersyukur nggak ngajar kamu lagi untuk tahun ini," balas Bu Cintiya.

Arash meringis mendengar kalimat wanita itu. Ia menyengir sambil menatap Aliyah yang mengucapkan 'makasih' tanpa suara lalu masuk ke kelasnya, "Ibu gitu banget sama saya. Nanti kalau kangen juga gimana, Bu? Masa kangen saya sepihak, nggak enak loh, Bu."

Bu Cintiya menghela napasnya. Memutar bola matanya karena malas mendengar bualan Arash. "Sudah bel, Arash, masuk kelas!"

"Siap, Bu, cuma sama ibu saya patuh."

🍓🍓🍓

"Jadi tadi Arash nolongin lo waktu Bu Cintiya hampir masuk kelas?" tanya Adel.

"Iya. Kemaren dia juga beliin gue susu stroberi di warung sebelah sekolah. Di jam sekolah udah mulai."

"Wait, wait," alis Adel menyatu, ia tampak berpikir. "Berarti Arash suka sama lo, dong?"

"Tiati, Al. Lo tau, kan, Arash orangnya gimana?" sahut Fairy, memasukkan potongan kecil roti bakarnya dengan santai.

"Tapi, Fe," Adel hendak menyanggah, "Arash anaknya emang badung banget. Tapi kalo udah nemu satu cewek, dia nggak akan pernah main-main. Setia banget orangnya. Nggak akan, deh, gangguin cewek lain. Bukan kaya Putra yang masih godain Mba Titin," sesaat gadis itu menggeram kesal melihat stan Mbak Titin yang dikelilingi Putra dan yang lainnya.

With(out) Strawberry (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang