RUNA
Seminggu setelah kejadian itu, tidak ada lagi interaksi langsungku dengan Satya. Dia sepertinya cukup tahu diri untuk tidak mencampuri urusan pribadiku. Hari-hariku belakangan ini pun hanya disibukkan dengan pekerjaan yang berkaitan dengan Nuansa.
Di hari Jum'at ini kami akan mengunjungi tim Research & Development (R&D) Nuansa yang kebetulan berkantor cukup jauh di Tangerang. Aku berangkat dengan Mas Roni, Angga, dan Aghni dengan menggunakan mobil kantor.
Begitu sampai di sana ternyata sudah ada Satya. Sepertinya dia duluan datang sendiri untuk sebuah urusan. Seperti biasa, penampilannya sangat rapi walaupun tidak begitu formal. Ia mengenakan kemeja biru tua yang lengannya digulung dan celana khaki, lengkap dengan sneakers kulit berwarna hitam.
"Halo, semua," sapanya ke kami semua tanpa tersenyum.
"Hai, Satya!" balas Mas Roni.
Dari situ kami pun mendengarkan penjelasan Head of R&D mengenai produk Nuansa agar lebih memahami proses pembuatan dan kualitas produk ini, sekaligus menyelaraskan konsep.
Setelah selesai, ternyata mobil yang kami tumpangi sudah pergi ke kantor cabang yang lain karena hendak menjemput karyawan lain tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Salah satu supervisor di kantor ini, Pak Herman, pun menawarkan tumpangan karena ia dan seorang rekannya juga hendak ke gedung kantor kami yang berada di Sudirman untuk menghadiri sebuat rapat.
Namun masalah belum selesai di situ. Mobil yang dibawa Pak Herman ternyata sebuah mobil kecil yang hanya cukup ditumpangi lima orang. Berarti di antara kami berempat ada satu orang yang tidak kebagian tempat.
"Salah satu dari kita mungkin harus nunggu mobil kantor jemput aja ya?" ucap Mas Roni. Sayangnya menunggu mobil kantor menjemput kembali berarti harus menunggu entah berapa lama, sangat buang-buang waktu.
"Naik mobil saya aja. Saya juga mau balik ke kantor," ucap Satya tiba-tiba.
Kini semua mata memandang Satya, lalu kami pun saling lihat-lihatan hingga kemudian Mas Roni membuka suara. "Nah! Boleh juga. Kalau gitu Angga kamu—"
Belum sempat Mas Roni selesai berbicara, Angga dengan tampang (sok) polosnya sudah berjalan masuk ke mobil Pak Herman, membuat Mas Roni melongo sejenak. Firasatku pun mulai tidak enak. Kalau bukan Angga yang disuruh, berarti hanya antara aku atau Aghni yang akan diminta Mas Roni untuk ikut mobil Satya.
Namun tentu saja, seperti kembar siam, Aghni mengikuti pergerakan Angga tanpa aba-aba sebelumnya. Tinggal lah aku sendiri sebagai sasaran. Tentu saja sebetulnya tidak ada di antara kami berempat yang ingin menumpang mobil Satya. Rasanya segan minta ampun.
Mas Roni pun langsung melihatku dan tersenyum tanpa dosa dengan mata yang berkilat tajam. "Runa kamu ikut mobil Satya, ya! Nanti kita ketemu lagi di kantor. Oke?"
Sial.
***
Sekali lagi aku mengutuki nasib kenapa harus kembali berdua dengannya di sebuah ruang sempit. Bukan hanya sebagai bawahan dan atasan, tapi juga sebagai dua orang asing yang tidak begitu mengenal satu sama lainnya.
Dari tempatku duduk, aku langsung mengenali jam tangan yang dipakainya di pergelangan kiri, Audemars Piguet tipe Royal Oak. Jam tangan yang serupa dengan punya Ayah, meskipun tidak sama persis. Aku hapal merek dan jenisnya karena dulu pernah melihat Ayah membelinya di salah satu boutique mereka di Singapura. Mengingat soal Ayah sebetulnya bukan hal yang menyenangkan, tapi jam tangan Satya ini memang begitu familiar buatku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Runa
ChickLitSeorang Runa Hariadi seharusnya menjalani hidup dengan begitu mudah dan serba mewah. Namun sesuai dengan sifatnya yang lembut tapi rebel, ia justru mengambil jalan hidup yang lebih sulit. Runa memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan fast-moving c...