Sesak

6.7K 1K 82
                                    

Sesuai janjiii... Double up! ;)

.

RUNA

Menyadari tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk keluar dari rooftop setinggi ini, aku dan Satya pun duduk di salah satu bangku panjang seadanya.

Kami sempat mencoba berteriak sekencang mungkin, berharap ada yang mendengar di bawah sana. Sayangnya suara kami mungkin termakan angin dan kalah dengan keriuhan lalu lintas di jalan raya.

"Kamu belum istirahat dari kapan?" tanyaku karena melihat wajahnya yang begitu lelah.

"Aku belum tidur dari kemaren."

"Loh kenapa?" Aku pun menepuk-nepuk pahaku. "Yaudah, sini..."

Satya menatapku sejenak, mungkin dia ragu apakah aku serius. Aku pun tersenyum untuk meyakinkannya. Lalu Satya membaringkan kepalanya ke atas pahaku. Dengan lembut aku menutup matanya lalu mengusap kepalanya agar ia cepat tertidur.

"Nyanyi dong..." pintanya lembut. "Kayak kamu biasanya."

Aku tertawa dalam hati. Baiklah, sebagai lullaby untuknya dan hiburan untuk diriku sendiri, aku pun mulai bersenandung kecil dengan suara seadanya. Sebuah lagu klasik dari band paling klasik, The Beatles.

Words are flowing out like endless rain into a paper cup
They slither wildly as they slip away across the universe
Pools of sorrow, waves of joy are drifting through my opened mind

Setelah beberapa saat tanganku berpindah untuk mengusap wajahnya yang sudah sedikit kasar dengan bulu-bulu halus di bagian dagu.

"Maaf ya..." gumamku pelan.

Satya membuka mata. Ternyata ia belum terlelap.

"Yang semalam..." lanjutku.

Ia pun meraih tanganku yang berada di pipinya lalu menciumnya lembut. "Maaf juga aku nggak bermaksud nuduh yang nggak-nggak. Aku yakin semalam kamu langsung pulang dan istirahat. Aku cuma khawatir makanya nyamperin ke tempat kamu."

Aku pun tersenyum tipis dan kembali mengelus kepalanya. Sepertinya dia juga tidak tertarik lagi untuk membahas soal kencan butaku tadi malam.

"Semalam... kamu sama siapa di Camden?" tanyaku hati-hati.

"Molaf sama Alan."

"Alan... siapa?" tanyaku lagi dengan tenang, berusaha untuk tidak terdengar mencurigakan.

"Sahabat aku dari SMP. Kapan-kapan aku kenalin ya," katanya begitu lembut dan polos. Namun jawabannya membuatku sedikit drop. Dari sekian banyak laki-laki di Jakarta ini, kenapa harus Alan yang menjadi teman dekat Satya?!

Di titik ini aku pun  sadar bahwa aku belum siap untuk bercerita tentang Alan dengan Satya. Terlebih lagi aku tidak bisa gegabah dalam menghadapi situasi yang begitu rumit ini—hidupku saja dari dulu sudah sedemikian kacau. Biarlah untuk saat ini dunia hanya milik kami berdua, Alan belum boleh merusaknya.

Angin mulai berhembus kencang dari berbagai arah. Udara terasa semakin dingin, mungkin karena kami berada di lantai yang cukup tinggi, lantai 30. Sayangnya aku hanya mengenakan blus lengan pendek dari bahan yang lumayan tipis. Lenganku sudah merinding di mana permukaan kulitku berkontraksi dan membuat bulu kudukku berdiri. Tanpa sadar aku pun menggosok-gosokkan lengan dengan menyilangkan kedua tangan.

"Dingin?" Seketika Satya bangkit. Padahal aku mengira ia sudah terlelap.

"Ih, kok bangun sih? Tidurrr!!" perintahku sambil mendorong badannya supaya kembali berbaring. Aku masih khawatir dengan kondisinya karena ia belum tidur semalaman. Untung saja Satya mengenakan kemeja tangan panjang, jadi mudah-mudahan dia tidak kedinginan sepertiku. Apalagi dia pernah tinggal di Philadelphia.

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang