RUNA
Hachii!
Aku tidak kuasa menahan bersin kedua kalinya di mobil Satya. Yap, dari sekian banyak kesempatan, kenapa kesehatanku malah berulah ketika sedang diantar pulang sama cowok di sampingku yang sedang menyetir saat ini.
"Kamu sakit?" tanya Satya yang terlihat cukup khawatir sambil menyodorkan tisu yang ia ambil dari atas visor.
"Nggak tahu, mau pilek aja sih kayaknya." Sebetulnya kepalaku sudah mulai terasa pusing sejak di kantor tadi, tapi aku nggak mau membuatnya lebih khawatir.
Satya pun mengecilkan AC mobil. "Mending kamu nggak usah masuk kantor besok," ucapnya. "Saya tahu seminggu ini kerjaan kita berat banget, tapi jangan sampai kamu sakit. Nggak worth it."
Aku hanya bisa menghela napas panjang.
Satya menoleh sebentar. "Kerja memang penting, tapi gimanapun kesehatan jauh lebih penting, Runa. Kita kerja buat hidup, bukan hidup buat kerja. Karena kalau udah tumbang, gaji sebesar apapun nggak ada gunanya lagi."
Aku pun menyenderkan kepala. Dalam hati aku membenarkan perkataannya. Tapi tetap saja aku nggak bisa segampang itu buat lebih santai dalam bekerja.
"Tapi saya ngerasa, kamu kerja keras sampai lembur setiap malam bukan cuma karena load pekerjaan kita yang lagi banyak. Karyawan lain nggak sampai kayak kamu. Kenapa, Runa?" Satya seperti sedang berusaha membaca diriku saat ini.
"Jujur kadang saya ngerasa ragu, apa saya pantas buat kerja di Adipa. Atau saya cuma kebetulan beruntung terpilih sebagai karyawan. I guess I just wanna prove to myself that I deserve to work here."
Satya tersenyum tipis. "Kalau kamu ngerasa nggak pantas, apalagi saya? Dijadiin Brand Manager padahal belum punya pengalaman di bidang consumer goods. Pengalaman kerja saya itu cuma tiga tahun di consulting firm, menangani private equity. Beda industri."
"Tapi normal kan buat penerus bisnis keluarga? Kak Rio juga dulu mulai di Tarama langsung jadi Marketing Manager."
"Normal bukan berarti pantas kan? Kamu kan tadi ngomongin soal pantas atau nggak..."
Aku pun terdiam. Kalau dipikir-pikir keraguanku selama ini mungkin terlalu berlebihan. Toh, aku diterima di Adipa juga bukan karena orang dalam... haachiii!
Sekali lagi aku bersin. Aku mulai yakin kalau kondisi fisikku memang sedang berada di tepi jurang.
"Bukan karena alergi kan?" tanyanya.
"Alergi?"
"Ya, alergi sama mobil ini mungkin?"
"Nggak lah..." balasku cepat. "Alergi sama yang punya mungkin, ya," lanjutku tidak lama setelahnya.
"Ouch! It hurts..." Satya memegang dada sebelah kirinya dengan wajah terluka. Lucu sekali melihatnya berakting seperti itu, meskipun ekspresinya masih cenderung datar. Aku pun tidak kuasa tertawa.
"Bercanda kali!"
"Kamu belum punya pacar kan?"
Huh?
Tunggu, tunggu...
"KOK TIBA-TIBA BANGET NANYANYA?"
Satya melihatku sebentar lalu tersenyum. "Jadi harusnya gimana? Pakai kalimat pengantar dulu? Atau pakai salam pembuka dulu gitu?"
"Ha-ha-ha."
Satya menggerakkan tuas gigi ke D untuk menjalankan mobil setelah lampu berubah hijau. "Atau saya harus bikin proposal dulu buat mengajukan pertanyaan itu?"
Aku kembali tertawa. Semakin kenal Satya, aku semakin melihat kalau dia tidak sekaku yang aku kira sebelumnya. Satya yang berada di sampingku sekarang jauh berbeda dengan Satya yang aku kenal ketika kami terjebak di lift waktu itu.
"Ya tapi kan cowok biasanya kalau nanya gitu pakai cara halus. 'Kamu nggak dicariin pacar kamu malam-malam gini?' atau 'emang nggak ada yang marah kalau saya antarin pulang?' Gitu kek."
"Nggak lah, ngapain. Mau pakai cara halus sekalipun kamu tetap tahu kan tujuan pertanyaannya apa? Sama aja."
Um, iya juga sih. Tapi aku jadi kikuk sendiri setelah ditanya kayak gitu. Mana di kantor tadi pakai insiden pegangan tangan segala lagi! Duh.
Sesaat suasana hening. Satya tidak bertanya lagi dan aku pun bingung harus menjawab bagaimana. Sementara itu kurasakan kepala dan hidungku semakin berat. Tanpa sadar aku menyenderkan kepala ke samping pintu dan mulai memejamkan mata.
"Runa..."
Samar-samar terdengar suara seseorang memanggilku. Perlahan aku membuka mata, dan melihat penampakan lobi apartemenku lewat jendela. Ternyata aku sempat tertidur dan kini kami sudah sampai.
"Nggak apa-apa kan parkir sebentar di sini?" tanya Satya yang kemudian melepaskan seat belt dan turun dari mobil. Aku bingung apa yang sedang dia lakukan. Hingga kemudian Satya membuka pintu mobilku. "Badan kamu panas. Saya antarin ke dalam."
Aku bengong. Spontan aku memegang keningku yang memang terasa sedikit hangat tapi aku juga tidak mungkin mengukur temperatur tubuhku sendiri seperti ini. "Kamu tahu dari mana saya panas?"
Satya tidak menjawab. Dia malah mengulurkan tangannya seakan ingin membantuku berdiri. Tanpa kuduga sebelumnya ternyata malam ini Satya memang mengantarku masuk sampai ke dalam lift di lantai dasar. Tadinya dia menawarkan untuk mengantar sampai ke lantaiku, tapi aku menolak. Bagaimanapun aku masih bisa berjalan sendiri.
"Istirahat yang cukup, Runa. Besok nggak usah masuk. Kalau kamu tetap masuk, saya akan langsung suruh kamu pulang."
"Galak amat sih, Pak Satya."
Satya terlihat senewen. Entah karena dibilang 'galak', atau karena dipanggil 'Pak'. Mungkin juga dua-duanya.
"Oh iya, yang tadi..." ucapnya menggantung. Satya terlihat memikirkan sesuatu. Lalu ia menggelengkan kepala. "Nevermind."
Ia pun mengucapkan salam perpisahan sebelum kedua kakinya beranjak untuk membalikkan badan. Namun sebelum pintu lift tertutup, aku memberanikan diri untuk memanggilnya.
"Satya..."
Satya pun menghentikan langkah dan berbalik melihatku.
"Belum," ucapku pendek sambil menahan senyum.
"Belum?" gumamnya dengan wajah bingung yang aku respon dengan sebuah anggukan.
Satya tertegun sejenak untuk mencerna satu kata yang tadi kuucapkan, hingga akhirnya terlihat sebuah senyuman indah terlukis di wajahnya.
Pintu lift pun tertutup. Badanku meriang. Hidungku tersumbat. Kepalaku terasa berat. Tapi hatiku malah gegap-gempita seperti pesta kembang api di malam tahun baru. Padahal baru saja kami berpisah satu menit yang lalu, namun kehadiran dan perhatiannya sudah membuat aku rindu.
~
Ada yang bisa nangkep nggak maksud kata 'belum' yang disebut Runa barusan? :D
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Runa
Literatura FemininaSeorang Runa Hariadi seharusnya menjalani hidup dengan begitu mudah dan serba mewah. Namun sesuai dengan sifatnya yang lembut tapi rebel, ia justru mengambil jalan hidup yang lebih sulit. Runa memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan fast-moving c...