Jalan Tengah

8.1K 870 59
                                        

RUNA

Ada beberapa kali aku telah melirik jam tangan. Saat ini sudah pukul 7 kurang 5 menit. Sebentar lagi waktu perjanjian dengan Alan akan tiba. Kami akan bertemu malam ini di tempat ini, Mantra Lounge, sebuah lounge baru di Kebayoran yang agak tertutup.

Apakah Satya tahu? Tentu saja tidak. Aku pun sudah memastikan bahwa Satya punya acara lain malam ini di sebuah hotel. Jadi bisa dipastikan ia tidak akan datang ke tempat ini.

Sosok tinggi mendatangi dengan wajahnya yang angkuh. Dingin tapi masih sempat tersenyum tipis kepadaku. Senyum yang selalu membuatku tidak nyaman.

Ia pun mengambil tempat duduk di hadapanku dengan gestur santai.

"Gimana pacaran sama Satya? Enak, nggak?" tanyanya tanpa basa-basi.

Sialan. Pertanyaan macam apa itu?!

"Just cut the crap. Gue mau to the point aja sama lo," tembakku tanpa perlu menjawab pertanyaan sampahnya.

"Sure. Lo mau apa dari gue, Runa?" Ia pun meletakkan ponselnya di atas meja, lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih maju. Aku yakin dia sebenarnya penasaran apa yang aku inginkan dari pertemuan ini.

"Soal kita dulu... Aku rasa Satya jangan sampai tahu," ucapku dengan perasaan berat. "Jangan salah sangka. Ini bukan demi kepentingan lo atau gue, ini demi Satya dan keluarganya. Di rumah sakit kemaren gue sadar kalau lo punya posisi penting di hidup mereka, terutama buat Satya. Gue cuma nggak pengen menghancurkan semuanya."

Alan menatapku dalam. Lalu seutas senyum tipis melengkung di bibirnya.

"What?" tanyaku heran melihat reaksi di wajahnya.

"Memangnya Satya udah ngasih apa aja sama lo?" tanyanya dengan nada tinggi. "Apa sih yang dia bisa kasih ke lo tapi gue nggak bisa kasih, hah?"

Tanpa sadar aku mulai menggeretakkan gigi dengan kuat setelah mendengar pertanyaannya yang tidak tahu diri itu. Tapi aku memilih untuk tidak meresponnya. Aku tahu tidak mungkin aku bisa mengubah jalan pikirannya yang kurang ajar itu.

"Gue tahu lo sahabatnya, tapi lo nggak usah mikirin gue mulai sekarang! Gue bakalan mencoba buat melupakan semuanya. Jadi tolong jangan urusin hubungan gue dengan Satya," kataku dengan tegas. Walaupun aku ingin berdamai dengan Alan, aku harus tetap menetapkan boundaries yang jelas di antara kami.

Alan memicingkan mata. Tampaknya dia tidak senang dengan gaya bicaraku namun ia tidak berkata apa-apa lagi. Aku juga tahu ia tidak punya pilihan lain yang lebih baik. "Jangan bikin gue terpaksa menceritakan semua yang terjadi waktu itu, Alan. Gue nggak tahu reaksi Satya bakalan seperti apa, but I know it would be ugly."

Tanpa sungkan aku pun langsung bangkit dari kursi dan meninggalkan Alan tanpa salam perpisahan. Aku yakin semua ini adalah jalan yang terbaik. Bagaimanapun Satya bukan hanya milikku. Ia juga milik keluarganya dan teman-teman terdekatnya, termasuk Alan. Aku tidak bisa egois untuk mengenyahkan salah satu di antaranya dari hidup Satya. Biarlah rasa benciku terhadap Alan aku simpan sendiri dan aku kubur selamanya sebagai bagian dari masa lalu.

***

Satya terlihat mendung, sama mendungnya dengan cuaca di luar sana. Ruangan meeting ini begitu hening dan terasa mencekam. Baru kali ini aku melihat Satya sesuram ini.

Ada masalah besar di bagian supply chain yang membuat proses distribusi Nuansa terhambat, padahal produksi sudah berjalan dalam kapasitas maksimal. Jika dibiarkan, sebentar lagi masalah bisa menjalar ke semua lini, dan top management Adipa mungkin akan turun tangan.

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang