Dilema

5.6K 865 22
                                    

RUNA

5 tahun yang lalu...

Tanganku bergetar sambil memegang ponsel di tangan. Sekuat mungkin aku berusaha untuk tidak melemparkan benda ini akibat amarah dan berbagai emosi negatif lainnya yang sedang menguasi diri. Apa yang kulihat barusan adalah mimpi buruk terbesar yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya akan terjadi. Alan baru saja mengirimkan sebuah video pendek ketika kami berada di dalam mobilnya dan seakan-akan aku sedang tidak sadarkan diri karena mabuk malam itu sehingga ia bisa menggerayangku dengan seenaknya. Berengsek!

Tentu saja tidak hanya ada amarah, namun juga rasa malu dan ketakutan yang aku rasakan. Seterusnya aku akan menyesali malam itu kenapa aku mau diantar pulang olehnya—karena keadaanku saat itu begitu letih setelah selesai menghadiri sebuah acara—padahal aku sudah pernah menolak berkali-kali untuk berkencan dengannya. Alan memang tampan dan penampilannya sempurna, belum lagi Maserati Quattroporte yang dikendarainya mungkin bisa membuat perempuan manapun bertekuk lutut. Tapi tidak denganku. Aku punya firasat dari awal bahwa ia bukan laki-laki baik yang bisa membuatku merasa aman dan nyaman. Persetan dengan segala atribut yang ia punya, toh keluargaku juga bisa membeli apapun yang ia miliki dengan mudah.

Untuk sesaat rasanya dunia ini tidak akan pernah lagi berpihak kepadaku, membuat aku bertanya apakah aku masih pantas untuk memperjuangkan hidupku sendiri. Ya, mungkin orang lain akan tertawa, melihat bagaimana aku adalah seorang putri yang masih beruntung dengan segala harta keluarga dan nama belakang yang aku punya. Namun mereka tidak mengerti bahwa sebetulnya harga diriku tidak berasal dari sana, dan luka 'kecil' ini telah mengubah semuanya.

Kini aku juga tahu bagaimana rasanya menjadi Mama, walaupun apa yang ia alami mungkin jauh lebih buruk. Jika dulu aku sempat tidak peduli dan tidak mengerti mengapa Mama menangis setiap hari di kamarnya sejak kejadian pelecehan dengan supir itu terjadi dan tidak ada seorang pun yang bersimpati terhadapnya, kini aku seakan bisa merasakan sakit yang sama. Mulai hari ini aku pun bertekad untuk mandiri dan berpijak pada kakiku sendiri. Selanjutnya aku akan membawa Mama untuk keluar dari rumah dan menjauh dari Ayah. Aku tidak bisa lagi berada di sekitar beliau karena sikapnya kepada Mama selalu mengingatkanku dengan Alan, walaupun jahatnya mereka punya cara yang berbeda.

***

"Gue sebetulnya udah kenal Alan dari dulu, Mol..."

Entah keberanian dari mana yang bisa mendorongku untuk memulai percakapan ini. Mungkin ketika aku belum sanggup menceritakan semuanya kepada Satya, aku ingin melihat dulu bagaimana reaksi Molaf jika tahu mengenai hal ini.

"Oh ya? Kenal di mana?"

Oke. Reaksinya masih biasa saja. Dia pasti mengira aku hanya mengenal Alan sebatas teman atau kenalan. Namun sayangnya lebih daripada itu.

"Dikenalin teman dulu waktu SMA..." balasku menggantung. Kini emosiku semakin membuncah. Sebentar lagi Molaf akan bisa melihat bahwa aku menyimpan sebuah kenangan buruk bersama Alan.

"Dia pernah bikin video waktu gue ketiduran di mobilnya, Mol. And he harrassed me... He touched me all over my body..." Mataku mulai berkaca-kaca dan kedua tanganku terkepal kuat. Molaf pun mulai terlihat shocked.

"Shit..." gumamnya pelan. "Gue tahu sekarang di mana gue pernah lihat lo Runa. Astaga!" Molaf pun mulai terlihat khawatir sekaligus panik. "I'm so sorry..."

"Sorry kenapa?" balasku hati-hati.

"Maaf karena gue juga pernah nonton video itu. Tapi gue nggak sempat mikir macem-macem waktu itu. Di kepala gue, lo cuma salah satu cewek yang berhasil dia bawa pulang dari night club."

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang