Mampir

7.6K 900 20
                                    

RUNA

Dunia tahu bahwa hidupku jauh dari kata sempurna meskipun dikelilingi oleh harta dan tahta. Dimulai dari ibu kandungku yang meninggal dunia di saat aku masih belajar membaca, lalu perlakuan ayahku yang seakan tidak pernah menyayangi dan memberikanku perhatian, padahal semestinya seorang ayah adalah cinta pertama dari anak perempuannya. Mama sambungku kemudian juga diberikan sebuah cobaan besar ketika aku seharusnya masih bersenang-senang seperti remaja lainnya, sehingga kami harus mengungsi dari rumah untuk hidup mandiri di sebuah apartemen sederhana.

Tapi hidup sepertinya masih cukup adil bagiku. Ayah mungkin bukan cinta pertamaku, tapi Tuhan akhirnya membuatku jatuh cinta dengan seorang laki-laki luar biasa yang aku temui di situasi tidak terduga. Aku pun mulai percaya bahwa hidup sebetulnya adil. Seberat apapun rintangan yang kita lalui, pasti ada pula kebahagiaan yang pantas kita terima. Dan untuk saat ini kebahagiaaku adalah Satya, meskipun terkadang aku masih mempertanyakan apakah aku pantas berada di sisinya.

Baru saja Satya mengakhiri panggilan teleponku. Kami akan bertemu di Camden dan Satya sedang berada di perjalanan. Setelah kejadian buruk tadi dengan Alan, yang ingin aku lakukan saat ini hanyalah bertemu dengannya.

***

Akhirnya aku pun sampai di Camden. Di parkiran aku melihat mobil Satya. Ternyata ia telah sampai duluan, mungkin karena apartemennya yang tidak begitu jauh dari sini.

Dengan langkah pasti aku pun mulai memasuki bar yang cukup luas ini dan mencari sosok Satya dari kejauhan. Pada satu titik sosoknya kulihat pada sebuah meja, sedang bersama dua orang lainnya yang hanya bisa kulihat dari belakang. Dengan perasaan senang aku pun mulai melangkahkan kaki untuk mendekatinya. Namun baju saja dua langkah berjalan, jantungku seketika terjun bebas. Salah satu temannya yang berkemeja krem, baru saja melihat ke samping untuk memanggil pelayan. Dari situ aku langsung mengetahui bahwa sosok itu adalah Alan. Si brengsek yang baru saja kembali merendahkanku hari ini.

Setelah kuperhatikan lagi, aku yakin yang satu lagi adalah Molaf. Kini terlihat mereka sedang berbincang seru dan tertawa bersama. Kenyataan pun seakan menghantamku dengan berbagai pertanyaan. Jadi apakah Alan dan Satya berteman baik? Gesture tubuh mereka bertiga terlihat seperti sekelompok teman yang sudah lama dekat satu sama lainnya. Begitu hangat, begitu nyaman. Aku juga ingat Satya pernah bercerita ia mempunyai satu sahabat lama di Jakarta yang juga kerabat Molaf. Namun ia tidak pernah menyebutkan namanya.

Ulu hatiku pun merasa pilu. Tidak mungkin rasanya aku mendekati Satya saat ini. Apa yang harus aku katakan di depan mereka bertiga? Bagaimana aku harus bersikap? Jika aku pun menceritakan semuanya kepada Satya, belum tentu ia akan bersimpati terhadapku karena telah menjelekkan teman baiknya.

Tanpa pikir panjang lagi aku pun pergi dari tempat itu. Rasa gembira yang sempat aku rasakan untuk bertemu Satya tadi telah menguap begitu saja. Keinginan untuk dipeluk dan didengarkan berganti dengan perasaan terbuang dan tersingkirkan. Kalau memang Alan adalah sahabat terbaiknya, bagaimana aku bisa memiliki tempat dalam hidup Satya untuk saat ini dan ke depannya?

Dadaku rasanya begitu sesak. Di dalam taksi online, aku mengetik sebuah pesan kepada Satya.

RUNA:
Aku nggak jadi ke sana.

Tidak berapa lama kemudian Satya pun membalas.

SATYA:
Kenapa? Are you okay?

Aku tidak sanggup menjawab lagi. Kubiarkan pertanyaan terakhir dari Satya menggantung begitu saja.

Am I okay? Absolutely not.

Sampai tiba-tiba Satya muncul di apartemenku sekitar pukul 12 malam, di saat emosi dan amarahku belum benar-benar reda.

"Nggak apa-apa. Aku cuma capek."

"Tapi aku khawatir sam—"

"Nggak perlu. Aku udah gede."

Satya tertegun sesaat. Aku tahu omonganku barusan sedikit kurang ajar. Tapi keadaanku memang sedang tidak baik-baik saja. Kenyataan yang aku dapatkan malam ini belum bisa aku cerna sepenuhnya.

"Lalu blind date kamu tadi gimana? Aku nggak bakalan bisa tidur kalau kamu belum cerita," tanya Satya yang membuat ingatanku terhadap Alan semakin jelas. Aku benci sekali melihat kedekatan dan kebersamaan mereka malam ini di restoran tadi.

Aku pun kembali menarik napas berat. Apa yang harus aku katakan?

"Nggak ada yang perlu diceritain," balasku ketus.

Namun dari matanya aku bisa melihat ada luka di sana. Aku tahu sikapku sekarang sedikit tidak sopan. Tapi aku memang butuh waktu untuk mencerna keadaan ini.

"Oh, gitu. Apa tadi kamu lanjut jalan sama teman kencan kamu itu? Ke mana? Nonton? Udah tukeran nomor juga kan?"

"Satya! Nggak usah nuduh macem-macem ya! Sekarang kamu pulang, aku capek dan cuma mau istirahat."

Ia pun beranjak pulang dalam diam dan tentu saja semalaman tidurku jauh dari kata nyenyak.

~

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang