SATYA
Gue jarang bertindak impulsif, tapi terkadang gue masih suka mempertanyakan keputusan yang gue buat sendiri. Contohnya seperti saat ini.
Sore ini gue udah menginjakkan kaki di driving range Senayan. Dan di ujung sana ada Rio Hariadi yang sedang memukul bola tanpa henti. Iya, Rio sepupunya Runa—sekaligus salah satu Director di Tarama—yang baru aja semalam muncul secara tiba-tiba dan mengagetkan kami.
Kali ini gantian gue yang mau menemui dia tanpa appointment sebelumnya. Dari mana gue tahu dia lagi main di sini? Gampang. Bukan cuma Rio yang punya 'mata' di mana-mana. Nggak terlalu susah buat gue cari tahu apa hobinya dan di mana dia biasa main. Untung aja dia nggak lagi main di VIP bay yang tertutup, jadi gue bisa mencarinya dengan mudah.
Apakah Runa tahu kalau gue di sini buat menemui Rio? Nope. Not a chance. Biarkan ini jadi urusan man to man antara gue sama Rio Hariadi. Gue nggak mau Runa jadi kepikiran atau apa. So let's see how it goes.
Kebetulan bay di belakangnya sedang kosong dan ketika gue berjalan mendekat, Rio sedang break main. Ia pun mengembalikan stik driver-nya ke dalam tas dan mengambil sebuah stik iron yang entah nomor berapa.
Ketika mata kami bertemu, Rio terlihat cukup kaget. Gue pun dengan kemampuan akting seadanya, berusaha untuk terlihat sama kagetnya supaya dia nggak tahu kalau gue memang sengaja datang ke sini buat nemuin dia. Untuk sekarang gue nggak mau terkesan terlalu agresif mengenai Runa. Entar gue beneran dikira punya motif tertentu lagi.
Ngomong-ngomong gue mesti manggil dia Mas, Bro atau Kak juga nih? Apa gue hajar aja pake nama doang? Tapi dia lebih tua sedikit sih dari gue.
"Satya?" sapanya duluan dengan kening berkerut.
"Mas..." balas gue sewajarnya.
Rio melihat gue dengan wajah mengintimidasi. Kalau kata Runa dia memang orang yang nggak gampang percaya sama orang lain. Jadi gue yakin untuk saat ini dia masih punya trust issue terhadap gue sebagai pacarnya Runa.
"Sering main di sini juga, Mas?" tanya gue basa-basi dan sedikit bohong karena sebetulnya gue jarang main di driving range ini. Banyak kenalan gue sering main ke sini soalnya, jadi malas aja.
Rio mengangguk. Namun wajahnya belum terlihat ramah. Masih datar.
"Nggak sama Runa?"
"Nggak, Mas. Runa masih ada kerjaan."
Rio melirik jam tangannya sekilas. "Jam segini masih kerja? Jangan sampai gue denger dia kena tipes ya."
Seketika gue mulai keringat dingin. Udah salah ngomong kayaknya.
"Mudah-mudahan nggak, Mas. Kita kebetulan memang lagi ada event besar."
"Terus lo di sini enak-enak golf sementara adek gue lagi kerja keras di kantor sendirian?"
Tuh kan. Astaga, gue makin salah ngomong. Padahal kalo bukan demi ketemu Rio, gue juga bakalan masih di kantor secara kerjaan gue juga masih numpuk. Masalahnya gue nggak bisa tenang selama si Kunyuk satu ini kelihatannya masih nggak suka banget sama gue.
Semalam samar-samar gue juga dengar apa yang diucapkannya ke Runa, "Terkadang kita nggak tahu siapa teman dan siapa lawan kita sebenarnya. Termasuk Adipa dan pacarmu itu..." Jeez. Di matanya mungkin gue ini semacam musuh dalam selimut atau apapun itu yang cuma ingin memanfaatkan Runa. Pandangan seperti ini nggak bisa dibiarkan terlalu lama.
Rio kembali memukul bola dengan stiknya. Pukulan dan ayunannya sangat terarah dengan baik. Jangan-jangan handicap-nya udah di bawah 10.
"Tapi lo mendingan jangan pernah bawa Runa ke sini. Ayahnya juga kadang-kadang main di sini," kata Rio sambil mengambil bola baru dengan iron-nya tanpa melihat ke gue. Sementara gue sedang sibuk set up tempat gue sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Runa
ChickLitSeorang Runa Hariadi seharusnya menjalani hidup dengan begitu mudah dan serba mewah. Namun sesuai dengan sifatnya yang lembut tapi rebel, ia justru mengambil jalan hidup yang lebih sulit. Runa memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan fast-moving c...