Philadelphia, PA
SATYA
Pukul 9.30 pagi. Pasar saham NYSE dan Nasdaq baru saja dibuka. Gue sudah bersiap trading di depan layar monitor yang menampilkan trading platform yang mulai menunjukkan pergerakan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, sudah ada secangkir kopi espresso macchiato yang baru gue bikin tiga menit yang lalu. Ini bakalan jadi cangkir kopi pertama dari total tiga cangkir kopi untuk hari ini. Cangkir kedua untuk jam 1 siang nanti, dan cangkir ketiga untuk jam 4 sore nanti. Begitulah jadwal minum kopi gue setiap harinya. Nggak pernah berubah.
Layar hape gue berkedip. Ada sebuah pesan masuk.
Jeremy:
Anything interesting on your watchlist?Jeremy Santoso adalah teman kuliah gue waktu di Wharton. Dia juga dari Jakarta dan sekarang sudah pindah ke New York setelah menerima tawaran posisi Analyst di sebuah investment bank di sana. Namun walau sudah terpisah kota, kami masih sering mengobrol, terutama mengenai masalah karier, current affairs, dan juga stock market seperti pagi ini.
Gue:
Looking at AMZN, TSLA, MRNA, ROKU.Had a great outcome from TSLA last night.Jeremy:
Awesome. Did you hold overnight?
Gue:
No. AMZN had momentum from yesterday. Now it's struggling to break 3740.Main saham ini sebenarnya bukan pekerjaan full-time gue. Sejak lima tahun yang lalu, pada setiap hari kerja, gue trading hanya selama satu jam di pagi hari di mana pasar berada dalam keadaan yang paling volatile, yang berarti bisa menghasilkan paling banyak keuntungan-dan juga kerugian. Dan dalam satu jam itu gue biasanya memasang target keuntungan kurang lebih $15,000 dari beberapa akun broker yang gue punya. Lumayan buat uang jajan.
Hape gue berkedip lagi. Dari bokap.
Papa:
Sudah beli tiket?Aku mengetukkan jari di atas meja sebelum menghela napas panjang. Honestly? Belum. Tapi ini sudah kesekian kali beliau bertanya dan kesekian kali pula gue belum juga membeli tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia. Kalau gue jawab 'belum' sekali lagi, apakah nama gue bakalan langsung dihapus dari Kartu Keluarga?
Papa:
Kalau belum juga, Papa akan suruh Ranti buat booking tiket kamu.Great. Gue benar-benar nggak bisa kabur dari tugas ini. Titah Paduka Yang Mulia tidak mungkin dibantah. Kalau nggak salah Bu Ranti adalah sekretaris Papa dan nggak akan susah buat beliau atau siapa pun untuk memesankan tiket. Jadi jelas-jelas tidak ada jalan lagi buat gue menghindari kepulangan ke Indonesia, kecuali kalau gue mau kabur dan menghilang ke Timbuktu untuk selamanya.
Gue: Udah, Pa.
Iya, gue bohong. Dikit. Bentar lagi gue bakalan beli tiket beneran kok. Bukannya gue suka menunda-nunda pekerjaan, gue justru paling benci itu. Tapi gue sebetulnya nggak setuju buat pulang ke Jakarta dan bekerja buat Adipa, seperti yang Papa dan keluarga besar harapkan saat ini, walaupun untung saja kata Papa posisi ini hanya untuk sementara.
I mean, gue tahu minat dan gairah gue bukan di situ. Bukan di industri kebutuhan rumah tangga, apalagi buat ngurusin brand. Gue pengin berkarir di bidang Finance atau Technology dulu di Amerika dan target gue ke depannya bisa punya startup sendiri. Papa udah setuju soal ini bahkan dari sebelum gue ngambil MBA di Wharton. Namun tiba-tiba minggu lalu gue disuruh (baca: dipaksa) balik ke Jakarta, padahal gue baru aja dapat beberapa tawaran pekerjaan di sini. For the sake of my sanity, nggak bisa apa mereka cari orang lain aja buat jadi Brand Manager di Adipa?
***
Jakarta
RUNA
Aku memandang gedung pencakar langit di depan tempatku berdiri saat ini dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Here I am. Hari pertamaku bekerja untuk Adipa Group, tepatnya PT Adipa Persona Berjaya, anak perusahaan PT Adipa Cipta Bersama, yang khusus bergerak di bidang kecantikan dan perawatan tubuh.
Tanpa sengaja aku menghela napas panjang. Aku merasa senang bisa diterima bekerja di sini, tapi di lain sisi aku masih mempertanyakan diriku sendiri apakah jalan yang aku ambil terlalu ekstrim.
Adipa Group akan menjadi perusahaan pertama tempatku bekerja setelah menyelesaikan kuliah S1 setahun yang lalu, di mana setelahnya aku langsung membangun usaha kecil-kecilan bersama seorang teman.
Namun kali ini aku memutuskan untuk mencari pekerjaan kantoran untuk menambah pemasukan dan memenuhi kebutuhan hidup. Tapi masalahnya, ada satu hal yang membuatku sedikit gugup. Dari seluruh perusahaan yang ada di Jakarta ini, bagaimana bisa aku akhirnya bekerja untuk perusahaan yang merupakan salah satu kompetitor langsung dari perusahaan yang didirikan oleh kakekku sendiri?!
Runa Mentari Hariadi, apakah kamu sudah gila?
~
Haloo! Selamat datang di bab pertama cerita baruku ini. Please vote, comment, dan jangan lupa masukin cerita ini ke library kalian ya! See you in the next chapter ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Runa
ChickLitSeorang Runa Hariadi seharusnya menjalani hidup dengan begitu mudah dan serba mewah. Namun sesuai dengan sifatnya yang lembut tapi rebel, ia justru mengambil jalan hidup yang lebih sulit. Runa memilih untuk bekerja di sebuah perusahaan fast-moving c...