Sayang

8.5K 1K 39
                                    


RUNA

"Ma, tahu nggak, masa kemaren Satya nggak tahu lho aku ulang tahun! Kaget sendiri dia," candaku ke Mama sambil cengengesan ketika kami bertiga sedang di kamar rumah sakit. Hari ini adalah hari ketiga aku dirawat dan besok rencananya aku sudah bisa pulang.

Satya yang sedang duduk di atas sofa sambil bekerja, mendadak pucat mendengar aku mengadu ke Mama.

"Ngucapinnya paling terakhir pula, pas udah mau gelap gitu." Aku pun menggeleng-gelengkan kepala memasang wajah kecewa. Sementara Satya masih membeku, mungkin juga sudah keringat dingin karena malu.

Mama meringis geli. "Ya kan nak Satya sibuk kerja. Makanya lupa..." ucap Mama halus.

"Emang nggak tahu Ma, bukan lupa."

"Terus kamu memangnya tahu kapan Satya ulang tahun?" tanya Mama menggodaku.

"Tahu, dong! 13 April," jawabku sombong. Kebetulan aku pernah bertanya kepadanya sekilas waktu itu, namun ia mungkin tidak sempat bertanya balik karena sedang sibuk.

Satya kini terlihat murung. Niatku padahal hanya bercanda, tapi sepertinya dia beneran tersinggung.

"Yaudah, nggak apa-apa. Kalian kan bukan anak SMP. Nggak perlu lah rayain ulang tahun macem-macem..." ucap Mama yang pasti sedang berusaha menghibur Satya. "Eh, Mama turun dulu ya ke bawah, mau minum teh di kafetaria."

Aku pun mengangguk. Mama memang punya kebiasaan minum teh setiap sore. Menghangatkan badan sekaligus menenangkan diri.

Begitu Mama pergi aku pun memandang Satya yang masih terlihat muram. Kini perasaanku mulai tidak enak.

"Satya, aku cuma bercanda..."

Dia hanya bergeming.

Namun ketika aku ingin merayunya lagi, seorang dokter dan seorang perawat masuk ke kamar ini. Mereka hendak melakukan check-up rutin untuk memantau keadaanku.

Setelah berbasa-basi sebentar, Dokter menyuruhku untuk menegakkan badan dan menarik rambut panjangku ke depan, lalu menempelkan stetoskop di punggungku.

"Tarik napas yang dalam..." perintah beliau untuk mengecek kondisi paru-paruku saat ini.

"Besok sudah bisa pulang ya. Nanti saya kasih resep obat buat dibawa pulang," lanjutnya ramah.

"Iya, Dok. Terima kasih."

Setelah selesai, Dokter pun pergi meninggalkan ruangan, sementara perawat memeriksa tekanan darahku dengan sebuah alat yang sampai umur segini pun tidak aku ketahui namanya apa.

"Besok kira-kira jam berapa bisa pulang, Sus?" tanya Satya yang akhirnya bersuara.

"Sekitar jam 12 sudah bisa pulang, Pak."

"Oke," balasnya singkat.

Tadi pagi aku baru mengetahui bahwa Satya ternyata memilih kamar VIP untukku, lebih dari yang sebetulnya bisa aku dapatkan dengan asuransi dari perusahaan. Aku sempat protes, tapi Satya beralasan ia menempatiku di kamar VIP karena terdapat meja serta sofa yang lebar agar ia bisa bekerja dan tiduran dengan leluasa sembari menjagaku, yang membuatku tidak lagi bisa membantah. Maka dari itu pula Satya tidak menyuruh teman-teman kerjaku untuk menjenguk dengan suatu alasan, supaya mereka tidak keheranan dengan jenis kamar yang aku tempati.

Suster akhirnya permisi keluar dan kami kembali berdua saja di ruangan ini.

"Satya, aku tahu di kantor lagi hectic banget. Besok aku nggak perlu diantar pulang. Aku sama Mama bisa naik taksi kok." Penolakanku bukan tanpa alasan. Nuansa akan launching dua hari lagi. Tidak terbayangkan sekacau apa suasana kantor saat ini. Ditambah lagi aku yang sedang absen. Buat apa Satya sempat-sempatnya menjemputku kalau memang aku bisa pulang sendiri dengan taksi?

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang