Jalan

9.4K 1.3K 56
                                    

RUNA

"Itu si 'anak sultan' ngapain di sini?" seru Aghni tiba-tiba ketika kami sedang sibuk menyantap pesanan masing-masing.

"Hah??"

"Ituuu... bos kita. Biasanya mana pernah dia makan di kantin."

Kami semua pun menoleh ke arah Satya yang baru saja duduk dengan Molaf di ujung sana. Betul kata Aghni, belum pernah sebelumnya kami melihat Satya makan di kantin ini ketika jam makan siang. Wajar saja, kantin atau pujasera sederhana di belakang gedung kantor ini biasanya memang bukan pilihan tempat makan siang karyawan-karyawan yang mempunyai jabatan tinggi, ekspatriat, atau 'anak sultan' seperti Satya. Maka dari itu, melihat sosoknya berada di sini merupakan pemandangan yang aneh buat kami semua.

Ilham berdecak. "Ya terserah dia lah. Kali aja mau cari pengalaman baru. Gimana rasanya makan ala proletariat kayak kita, tanpa AC dan table manner, bareng kucing-kucing kampung yang minta jatah di kolong meja."

"Eh, gue kalau makan selalu pakai manner ya! Lo aja yang kagak," canda Rininta. Semua yang ada di meja pun tertawa, sedangkan aku diam-diam sibuk memperhatikan Satya yang baru mulai makan sepiring nasi campur sambil mengobrol dengan Molaf. Bisa kulihat beberapa karyawan Adipa lainnya juga ada yang diam-diam memperhatikannya. Pasti mereka juga heran dengan pemandangan aneh ini.

Tiba-tiba Satya melihat ke arahku. Mata kami bertemu. Tanpa kuduga ia malah melemparkan sebuah senyuman singkat yang membuatku gelagapan. Mudah-mudahan saja tidak ada orang lain yang melihatnya. Dengan cepat aku pun mengalihkan pandangan dan kembali menyendokkan Mi Aceh yang sudah mulai dingin ke dalam mulutku.

"Kira-kira Satya itu kalau makan nasi padang, pakai tangan apa pakai pisau-garpu ya?" celetuk Ilham lagi.

"Mas, jangan lebay deh," balas Aghni yang membuat Ilham cengengesan. "Gue sih lebih penasaran siapa pacarnya. Bodo amat soal gimana cara dia makan nasi padang."

"Naaah, bener banget tuh! Tapi kata Molaf di restoran waktu itu doi nggak pernah pacaran kan?" timpal Erika tiba-tiba yang baru saja bergabung di meja kami. "Kok bisa ya?"

Tanpa sadar detak jantungku seakan berhenti sesaat. Aku tidak bisa membayangkan seandainya ada yang tahu mengenai kejadian semalam, yaitu saat-saat bersejarah dalam hidupku di awal tahun ini.

"Palingan juga dia dijodohin entar. Sama yang segolongan. Jadi cewek-cewek kayak kalian yang nggak pernah dikasih black card sama ortu gini mending nggak usah ngarep deh," seru Ilham.

"Yeee... siapa juga yang ngarep! Gue mah dari awal udah tahu diri," balas Rininta sambil memasukkan saus cabai ke dalam mangkuk baksonya.

Entah bagaimana perkataan Rininta barusan terasa menyentilku. Dalam hati aku mulai bertanya-tanya apakah aku juga cukup tahu diri mengenai perasaanku terhadap Satya dan status pacaran kami saat ini.

Kami berdua memang sama-sama generasi ketiga perusahaan konglomerasi ternama di tanah air. Namun nasib kami begitu berbeda dalam berbagai hal; keharmonisan keluarga, pendidikan, dan pekerjaan. Satya pasti bisa mendapatkan perempuan dengan kondisi yang jauh lebih baik dariku. Sejenak aku pun mulai ragu, apakah hubungan kami berdua akan bertahan untuk waktu yang lama.

***

"Kamu kesambet apa sih tadi sampai makan di kantin?" tanyaku pada Satya ketika hari sudah gelap dan kami berada di pantri. Kantor ini kebetulan sudah sangat sepi karena besok tanggal merah. Semua karyawan sepertinya sudah tidak sabar untuk berada di rumah menyambut long weekend.

Rahasia RunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang